Imajinasi bergerak tanpa batas


Image source: here

Ini pembahasan lanjut dari pemikiran out of the box yang sempet gua bahas sebelumnya, soalnya mau dituangin di satu bagian khawatir membludak penjabarannya.

"Imagination is more important than knowledge"

Kutipan di atas berasal dari Albert Einstein, sang ilmuwan sukses dengan sejumlah penghargaan akademis (termasuk Hadiah Nobel Fisika di tahun 1921), yang banyak menelurkan teori untuk kepentingan umat manusia, salah satunya adalah teori relativitas yang sangat terkenal itu. Seorang ilmuwan sekaliber Albert Einstein saja mengakui kalau imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pengetahuan, dan beliau juga pernah mengatakan kalau "Logika akan membawamu dari A ke B, sementara imajinasi akan membawamu kemana saja."

Wow, sehebat itukah sebuah imajinasi?

Coba aja tengok sekeliling kita. Begitu banyak produk manusia yang lahir dari hasil imajinasi. Mungkin kita akan berdalih dengan mengatakan, "Ah, itu kan hasil dari teori ilmu pengetahuan." Memang benar, tapi dari mana ilmu pengetahuan muncul kalau bukan dari rasa keingintahuan seseorang akan sesuatu? Jika keingintahuannya dibendung oleh sebuah batasan, maka tidak akan berkembang lebih lanjut. Maka dari itu, sebuah keingintahuan yang tidak dibatasi akan menghasilkan sebuah jawaban, sebuah teori, sebuah ilmu. 

Mungkin kalimat di atas masih multi tafsir dan mengundang perdebatan, tapi yang mau ditekankan disini adalah pentingnya memiliki imajinasi yang memiliki daya jangkau tak terbatas. Imajinasi identik dengan otak kanan, otak yang berhubungan dengan intuisi, kreatifitas, musik, selera seni, juga emosi. Sementara otak kiri berhubungan dengan keterampilan angka-angka, logika, pertimbangan, berbicara, juga menganalisa. Beberapa tokoh besar dunia seperti Albert Einstein, Isaac Newton, Leonardo da Vinci, juga Michaelangelo adalah para pengguna otak kanan.

Bukannya gua mau mendiskreditkan para pengguna otak kiri, gua hanya ingin membuat kedudukan menjadi sejajar. Di Indonesia, otak kiri seolah dinomorsatukan, jurusan kuliah yang berhubungan dengan otak kiri akan "dianggap" lebih wah, sementara yang berhubungan dengan otak kanan diremehkan.

Pola pikir ini mesti dirubah. Jika terhalang batasan, dengan dilandasi niat kuat, para pengguna otak kanan bisa kok berkembang menjadi sukses. Imajinasi dan kreatifitas mampu membawa seseorang melesat jauh. Ingat, hanya imajinasi yang disertai dengan tindakan nyata lah yang akan mampu membawa sebuah perubahan, bukan sekedar imajinasi. Lihat saja bagaimana imajinasi seorang J.K. Rowling dituangkan secara detil dalam serial petualangan Harry Potter, atau imajinasi fantastis J.R.R. Tolkien mengembangkan Middle-earth, sebuah dunia rekaan yang menjadi setting kisah The Lord of The Rings. 

Silakan kalian googling sendiri betapa suksesnya kedua kisah imajinatif itu dikembangkan (dan gua sangat mengagumi dua cerita itu). Itu hanya salah satu contoh, padahal masih banyak lagi contoh pengaplikasian imajinasi yang akhirnya mengecap kesuksesan. Mau tidak mau, kita telah menikmati sajian produk-produk hasil imajinasi dan kreatifitas tanpa batas para pengguna otak kanan. Coba lihat negara Jepang, yang banyak menghasilkan produk penuh imajinasi. Kalian yang sering menikmati anime dan manga pasti tahu hal ini.

Logika memang penting, namun jangan dijadikan tolak ukur pasti sebuah kesuksesan.

Beristirahatlah sejenak, biarkan tubuh dan pikiran rileks, dan kembangkan imajinasi seluas-luasnya. Well, maukah kita mengembangkannya?

-Bray-



Note: Kompilasi blues rock dan rock 'n roll di lagu "Jet Airliner" milik The Steve Miller Band mengalun indah menemani penulisan ini.



READ MORE - Imajinasi bergerak tanpa batas

Out of the box thinking


Image source: videoforbusiness.ca

Berpikir kreatif, tidak seperti yang orang lain pikirkan.

Itu adalah kalimat yang mudah diucapkan, namun pelaksanannya tidaklah semudah lidah berucap. Thinking out of the box menjadi sebuah slogan yang diusung banyak pemikir besar dan pencetus ide unik yang dapat mengubah kehidupan, atau setidaknya... dapat mengubah pandangan kebanyakan orang akan suatu hal.

Beberapa hari belakangan ini gua dimintai tolong untuk menguraikan suatu permasalahan yang terkait dengan pekerjaan di kantor (maaf, ga bisa di-share disini, karena ngejelasinnya aja bikin mumet sendiri), yang mana permasalahan ini sebenarnya sudah berlarut-larut. Kalo ga diselesain, bisa jadi bom waktu di kemudian hari. Kalo coba diselesain, entah kenapa ujung-ujungnya selalu aja buntu, dead end. Melihat tumpukan file-nya aja udah males, apalagi mesti nemuin solusi untuk ngerjain, hahaha.

Apa otak gua udah sedemikian mampetnya? Nanya ke pihak yang lebih berwenang nentuin solusi... yang didapat adalah grand design konsep solusinya (yang mana sangat bagus), tapi permasalahan utama adalah di implementasi. Kayaknya, dibutuhkan sebuah solusi yang belum pernah diterapkan sebelumnya atas masalah ini. Dari situlah gua kepikiran masalah out of the box thinking ini.

Oke, lupakan masalah kerjaan. Guess what? Gua jadi kepikiran beberapa hal, yaitu konsep berpikir out of the box bisa didorong kalo kita mau:

1. Berpikir jernih.
2. Terbuka terhadap masukan dan wawasan, siapapun dan apapun itu. 
3. Melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda dan berani mengaplikasikannya.

Kenapa berpikir kreatif atau out of the box itu penting? Karena sekarang era dimana teknologi berkembang pesat, dan kita dituntut untuk berkonsep. Lagipula, berpikir kreatif akan melatih otak untuk terus bekerja, tidak stagnan. Orang-orang kreatif akan banyak dicari dan dibutuhkan. Merekalah pencetus inovasi yang berguna untuk masyarakat, dalam bidang apapun, dari hal kecil hingga besar.

Hm... apa ya yang ada di benak para pemikir besar dan pencetus inovasi mutakhir yang udah nelurin banyak ide untuk umat manusia. Contoh, apa yang ada di benak Steve Jobs tatkala memperkenalkan iPod ke masyarakat, yang akhirnya membuat mindset "menikmati musik digital lebih menyenangkan daripada kemasan fisik?"

Pertanyaan serupa juga berlaku untuk seluruh inovasi yang pernah dicetuskan. Hebat ya para pencetus ide itu, bisa menghasilkan ide fantastis, berbeda dari yang lain dan juga berguna. Oya, untuk kalian yang udah punya sebuah karya hasil dari pemikiran kreatif dan out of the box, apapun itu, gua ucapkan, "Hebat, teruslah berkarya!"

Untuk saat ini, gua cuma berharap akan menemukan solusi atas masalah kerja yang ada di kantor, siapa tahu bisa berpikir jernih dan akhirnya permasalahan selesai hehe.

Apakah kalian pernah berpikir sesuatu yang benar-benar out of the box?

-Bray-



Note: Salah satu musisi lokal yang punya ide kreatif dalam berkarya adalah Rock And Roll Mafia, yang melalui album "Outbox", berhasil menyajikan musik elektronik yang indah. Gua dengerin lagu mereka yang berjudul Ironique untuk menemani pemulisan ini.
READ MORE - Out of the box thinking

Shuffle: Menikmati Playlist Lagu yang Diacak



Dengerin musik yang udah tahu susunan playlist-nya ternyata lama-lama ngebosenin.

Gua termasuk orang yang selalu dengerin musik setiap hari, khususnya pagi hari untuk ngebangun mood positif sebelum berangkat kerja dan pas malam hari sesudah kerja untuk ngilangin stres dan lain hal. Ga bisa dipungkiri, efeknya luar biasa lho. Apalagi kalo kita lagi stuck kehabisan ide, dengerin musik adalah salah satu cara ampuh untuk menguraikan kusutnya pikiran & memacu sel otak untuk mencari ide.

Meskipun bertahun-tahun ngumpulin lagu favorit untuk didengerin, baik itu CD fisik maupun musik digital, lucunya sampe sekarang belom semuanya gua dengerin, haha. Aneh emang, sampe kadang lupa sendiri pernah punya album A si musisi ini, album B si musisi itu. Untungnya sih ga pernah sampe double beli. Rutinitas kalo pas punya lagu baru itu adalah disimpen di laptop, terus diputer kalo pengen. Padahal yang sering diputer yang ada di mobile gadget (bukan laptop), dan playlist didominasi oleh musisi favorit, yang notabene bawaannya pengen diputer aja terus setiap saat, baik itu musisi lokal ataupun mancanegara.

Kalo udah begini, ya jadilah musik-musik yang lama terbenam, karena yang jadi primadona selalu beberapa lagu doang. Dengan sukacita biasanya gua buatin folder khusus di mobile gadget untuk beberapa single favorit, dinamain judul foldernya sesuai kebutuhan, dan terbuai dengan deretan lagu-lagu yang bermain lincah di situ. Baru gua sadar, kok lama-lama ngebosenin ya, apalagi begitu tahu abis lagu A pasti yang keputer lagu B, C, D dan seterusnya. Emang sih semuanya bagus-bagus, tapi... kayak ada yang kurang. 

Akhirnya gua coba aktifin shuffle mode, alias membiarkan software yang terbenam di mobile gadget itu yang mengambil alih kendali memutarkan musik. Wow, playlist gua pun teracak sesuai yang diatur si software. Hm, oke juga nih ternyata, gua tinggal duduk manis aja dengerin apa yang diputer, tanpa gua mau cari tahu lagu apa berikutnya yang bakal keputer. Ada sensasi tersendiri saat lagu yang diputer udah lama banget ga didengerin. Lagu lama ngebawa kenangan tersendiri, dan bikin nagih didengerin.

Mungkin ini juga yang membuat radio masih suka didengerin para penikmat musik. Selain karena radio menyajikan banyak suguhan menarik (dari segi acara, musik dan sebagainya), lagu yang diputer di radio (yang diputer random, bukan by request) itu pas didengerin membawa sensasi tersendiri. Kita ga tahu lagu apa yang bakal diputer selanjutnya sama sang DJ, dan begitu lagu yang diputer ternyata lagu favorit... beda rasanya sama muter lagu itu di playlist milik sendiri.

Apa gua doang yang ngerasa begitu? Haha. Bener lho, kalo kita dengerin musik favorit diputer di radio, tanpa niat awal dengerin itu, rasanya itu lagu jadi bagus banget. Berdasarkan itu, gua akhirnya mengisi ulang playlist di mobile gadget dengan hampir seluruh perbendaharaan musik yang gua punya dari awal ngumpulin sampe sekarang. Ga semuanya sih, karena ga muat memorinya hehe. Yang pasti, setelah gua mengaktifkan shuffle mode, bermunculanlah musik-musik yang terasa asing padahal itu udah lama gua punya. Hm... kenapa baru sekarang kepikiran begini ya?

Gua jadi inget iPod Shuffle yang dipopulerkan Steve Jobs pada tahun 2005, dimana tanpa display pada pemutar musik tersebut, konsep yang diusung adalah memainkan musik secara acak. Well done, Mr. Jobs.

Musik baru membawa semangat baru. Enjoy your day.

-Bray-



Note: Hasil shuffle playlist hari ini adalah lagu The Chemical Brothers (duo EDM mantap dari dataran Inggris), diambil dari album Come With Us, berjudul "Star Guitar", sebuah sajian manis electronica dan tech house. Lagu ini jadi pengiring saat menulis.
READ MORE - Shuffle: Menikmati Playlist Lagu yang Diacak

Kesedihan Itu Sesungguhnya Wajar dan Baik



Selalu ada sisi baik dalam suatu hal, tak terkecuali sebuah emosi yang bernama "Kesedihan".

Hidup memang penuh dengan petualangan emosi, campur aduk menjadi satu, mulai dari senang, takut, sedih, marah, cinta, dan sebagainya. Emosi yang mendominasi setiap orang berbeda-beda, semua tergantung dari pola pikir dan pengaruh eksternal. Dalam satu waktu, kita bisa diliputi kesenangan berlebih, kemudian larut dalam kesedihan di lain waktu.

Gejolak perubahan emosi ini dirangkum dengan baik di film animasi kerjasama Disney-Pixar, Inside Out. Sebuah film tentang studi karakter manusia yang mengagumkan. Mengambil tokoh utama seorang gadis berumur 11 tahun bernama Riley, dimana dalam pikirannya terdapat lima emosi yang mendiami Markas Besar (Headquarters) dalam otak, yakni Anger (Marah), Fear (Takut), Joy (Senang), Disgust (Jijik) dan Sadness (Sedih). Urutannya disesuaikan dengan gambar lima karakter yang gua taro di atas.

Konsep ceritanya sederhana. Riley harus beradaptasi dengan lingkungan barunya di San Fransisco, padahal dia punya banyak kenangan manis di tempat lamanya, Minnesota. Joy sebagai pemimpin di Markas Besar, berusaha membuat hidup Riley dipenuhi kegembiraan menghadapi lingkungan baru. Konflik utama timbul saat dua dari emosi inti, yakni Joy dan Sadness, terlempar keluar dari Markas Besar, menyisakan tiga emosi lainnya yang terpaksa harus mengambil alih kendali pikiran. Perubahan inilah yang membuat Riley berubah menjadi gadis yang semula periang menjadi pemurung. Hiruk pikuk para emosi yang saling mengambil alih pikiran Riley di Markas Besar menjadi konflik internal (Inside), sementara tekanan lingkungan baru Riley menjadi konflik eksternal (Out).

 

Sebenernya banyak hikmah yang bisa diambil dari film ini, diantaranya yaitu pentingnya hubungan baik dalam keluarga, juga pentingnya mengenali emosi dalam diri kita sendiri, dan masih banyak lagi. Namun, gua tertarik untuk membahas satu pesan yang unik: kesedihan itu sesungguhnya wajar dan baik.

Yang mendominasi emosi seorang anak kecil adalah kesenangan, dan ini ditunjukkan dari sosok Joy yang terus berusaha membuat hidup Riley dipenuhi kegembiraan, kegembiraan, dan kegembiraan. Kalau hidup ini dipenuhi kegembiraan, buat apa kita harus merasa sedih? Hm... bener begitu?

Sutradara film ini, Pete Docter, menyatakan bahwa kesedihan tidak selalu buruk. Kesedihan sebenarnya menyehatkan dan memiliki tujuan, kata dia. Orang-orang sering memaknai kesedihan sebagai sesuatu yang pantas dijauhi, namun sesungguhnya kesedihan juga bisa merupakan sesuatu yang baik. Kesedihan bisa mengajarkan orang-orang sesuatu.

Sejauh mana level kegembiraan bisa terasa manis? Kegembiraaan akan terasa sangat manis apabila kita mengalami momen keterpurukan dan kemudian bangkit dari situ. Ingat, bangkit dari situ, bukannya terus-menerus bersedih. Seburuk apapun masalah yang melanda, kalau kita bisa memaknai hal itu dan kemudian berhasil mendapat kebahagiaan setelahnya, nah... itulah saatnya merasakan "manisnya" kegembiraan.

Selalu ada sisi baik dalam suatu hal, bukan?


-Bray-

Note: Musik indah Moby yang berjudul "In My Heart" menjadi pendamping penulisan ini.

READ MORE - Kesedihan Itu Sesungguhnya Wajar dan Baik

Kita dan Cara Kita Dibesarkan



Seorang anak akan tumbuh menjadi seperti apa yang dia pelajari dari lingkungan yang membesarkannya.

Ada sebuah kejadian yang membuat gua ingin menumpahkan pikiran disini. Beberapa minggu yang lalu, saat mengantre untuk membeli makanan ringan di sebuah minimarket, gua melihat seorang anak kecil yang merengek pada orang tuanya ingin dibelikan es krim, tapi sang orang tua tidak mengabulkan, dan mengumpat kasar. Alhasil si anak juga mengeluarkan umpatan kasar, dan terus merengek dengan suara lantang.

Hmm...

Di satu sudut lain minimarket, ada juga seorang anak yang terus-menerus bertanya pada ayahnya tentang barang ini itu, dan si ayah terlihat tenang meladeni pertanyaan anaknya. Si anak tidak minta macem-macem, dan ayahnya pun terlihat kalem, tidak berusaha membujuk anaknya untuk membeli apa yang dia minta.

Gua hanya memperhatikan kedua kejadian itu dengan senyum tipis, tapi baru malem ini gua kepikiran lagi momen itu, saat gua membaca sebuah quote bagus dari Goodreads, yang menampilkan kutipan buku "Children Learn What They Live" karangan Dorothy Law Nolte, yaitu:

Bila seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum
Bila seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan
Bila seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu
Bila seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah
Bila seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Bila seorang anak hidup dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan
Bila seorang anak hidup dengan ketentraman, ia belajar tentang iman
Bila seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri
Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia

Itulah kutipannya. Bagus untuk disimak dan direnungkan. Seorang anak adalah pembelajar yang baik, dan kita pasti pernah mengalami fase tersebut, bahkan sampai detik ini, kita akan terus mengalami pembelajaran melalui lingkungan. Kita hidup di lingkungan seperti apa, biasanya itu yang akan membentuk jati diri kita. 

Apakah itu berarti lingkungan patut disalahkan? Tidak selalu, karena manusia bisa berubah ke arah yang positif disaat lingkungannya membuat dia menjadi pribadi yang negatif. Lalu, apakah kita sadar lingkungan seperti apa yang membentuk pribadi kita sampai saat ini?

-Bray-
@bayurohmantika


Note: Lagu "Old Favours" milik Empire Of The Sun menemani gua malam ini. Sweet techno

READ MORE - Kita dan Cara Kita Dibesarkan

Dunia Sang Perfeksionis



Kegagalan adalah bagian dari sukses.

Kalimat itu yang harus ditanamkan dalam pikiran kita apabila menghadapi sebuah kegagalan. Bagaimana cara kita belajar dari kegagalan tersebut dan mengubahnya menjadi kesuksesan di kemudian hari lah yang menentukan segalanya. Kegagalan semestinya tidak dipandang sebagai sebuah cacat berlebih. Kegagalan harus diterima dengan lapang hati dan kemudian kita bertekad untuk tidak mengulangi lagi di masa depan.

Sayangnya, seorang perfeksionis tidak selalu memandang demikian.

Dikutip dari Wikipedia, perfeksionisme adalah keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik ataupun non-materi. Perfeksionisme dapat menyebabkan seseorang memiliki perhatian berlebih terhadap detail suatu hal dan bersifat obsesif-kompulsif, sensitif terhadap kritik, suka menunda, cemas berkepanjangan, keras kepala, dan berpikir sempit.



Dari gambar di atas, bisa disimpulkan bahwa seorang perfeksionis kerap menginginkan kesempurnaan suatu hal melebihi skala normal. Mereka tidak bisa menerima cacat dalam suatu hal. Mereka memiliki segudang rencana dalam pikirannya, dan rencana tersebut harus terjadi tepat seperti yang telah disusun. Mereka tidak dapat berkompromi dengan orang-orang yang kerap berbuat salah.

Gua punya pengalaman menghadapi seseorang perfeksionis dalam dunia kerja. Dia hampir tidak pernah menerima kesalahan sebagai bagian dari proses belajar, dan akan selalu mencacat suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Kalau udah begitu, yang ada adalah pihak-pihak yang berhubungan dengannya lebih memilih untuk tidak mengerjakan suatu hal daripada mengerjakannya tapi selalu dicacat. Ini buruk, tapi itulah yang terjadi. Parahnya, dia ngga mau mempercayakan suatu hal pada orang lain yang ngga bisa ngerjain sesuatu seperti yang dia kehendaki. 

Hmh...

Mari renungkan sejenak. Tidak ada yang namanya manusia sempurna. Pasti selalu ada kekurangannya. Nasib kita di dunia ini juga udah ditentuin sama Allah, jadi jika rencana yang udah kita susun serapi mungkin berantakan, jangan kecewa. Hidup jadi terasa berat dijalanin kalo kita selalu mikir kesempurnaan. Bukan berarti kita bisa selalu berbuat kesalahan. Bukan itu intinya. The point is... jalani hidup seperti seharusnya, dan belajar menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hidup. Enjoy your life...

"The pursuit of perfection is frustrating, neurotic and a terrible waste of time", itu quote dari Edwin Bliss. Meskipun tampak teratur dan ideal, dunia sang perfeksionis akan selalu dipenuhi dengan stres, kekecewaan, prasangka buruk, dan hal-hal negatif lain. Apakah itu yang kita mau?

Maaf, gua ga bisa masuk ke dunia sang perfeksionis.

-Bray-
@bayurohmantika



Note: Lagu One Republic yang "Good Life" menjadi musik pengiring penulisan artikel ini. Hidup ini memang indah, jadi jangan diisi dengan pikiran negatif.

READ MORE - Dunia Sang Perfeksionis

Ayo Pilih: Good Mood atau Bad Mood?



Apakah mood harus dipilih?

Pertanyaan simpel itu terus menghantui gua, jadi akan gua share disini. Well, dalam beraktivitas sehari-hari, apapun yang kita lakukan pasti ada kaitannya dengan perasaan senang, sedih, kecewa, dan sebagainya. Banyak penyebabnya, mulai dari patah hati, dapet promosi jabatan yang diinginkan, nonton film sedih dan lainnya. Terkadang hal-hal tersebut akan mempengaruhi mood kita, iya ngga?

Kalau mood kita bagus, tentu semua hal yang dilakukan terasa ringan, menyenangkan dan hasilnya memuaskan banyak pihak. Gimana kalau mood-nya buruk? Wah, yang ada semua hal terasa buruk, mulai dari komunikasi, tindakan dan pikiran. Pekerjaan yang seharusnya selesai dalam sepuluh menit bisa selesai lebih dari itu, atau bahkan lebih buruk lagi: ga dikerjain sama sekali, dan berpotensi jadi bom waktu di kemudian hari. Komunikasi dengan orang lain yang seharusnya lancar jadi tersendat gara-gara kita masang muka murung. Kewajiban yang seharusnya dikerjakan jadi terbengkalai akibat suasana hati yang buruk.

Kita semua pasti pernah merasakan hal itu. Kadang pembelaan diri kita adalah: "Tapi kan gua lagi ngalamin kejadian yang ngga enak, jadi males ngapa-ngapain. Udah ilang fokus. Buyar semua rencana yang udah disusun." Masih ada sederet alasan lain yang memaklumi si bad mood ini. 

Awalnya gua selalu menganggap bahwa faktor eksternal-lah yang bisa disalahkan, sebuah kejadian yang membuat mood baik atau buruk ini muncul. Contohnya tadi, kalo lagi patah hati, maka yang muncul si bad mood; kalo lagi dapet promosi jabatan yang diinginkan, yang muncul si good mood. Kemunculannya silih berganti. Kalau ada momen buruk, si bad mood mampir, pas ada momen baik, langsung diganti sama good mood

Pikiran negatif kita pasti akan berkata: "Ya udah sih, emang begitu, bukan? Hidup ini kan terus berputar, ada sedih, ada senang. Ya kalo senang kita senang, kalo sedih kita sedih. Terima aja." No no no! Bukan begitu seharusnya mindset kita bangun. Dari web psychmechanics.com, disebutkan bahwa: 

"Kita bertanggung jawab atas kondisi mood dan emosional kita sendiri. Jangan menyalahkan pihak lain, Tuhan atau pemerintah atas apa yang kita rasakan. Tuhan memberikan kejadian sedih dan senang untuk sebuah alasan. Bagaimana cara kita menangani kedua momen tersebutlah yang akan menentukan mood kita."

Kalau kita menangani momen sedih dengan benar, maka kita akan diberkahi dengan good mood. Sebaliknya, kalau kita menangani momen baik dengan salah, maka yang ada adalah bad mood. See? Bukan momennya yang harus disalahkan, tapi mindset kita dalam menanganinya lah yang harus dibenahi. Ada orang yang masih dapat tersenyum saat dia merasakan hari terburuk dalam hidupnya. Ada juga orang yang kelihatan murung padahal kejadian baik baru aja dialaminya. Ini semua tentang apa mood yang kita pilih.

Tanamkan ke dalam pikiran bahwa dibalik kejadian buruk selalu ada hikmahnya. Jangan biarkan pikiran negatif masuk. Nikmatilah hidup ini dan lakukan yang terbaik. Pikiran negatif yang mengarah ke bad mood hanya akan menggerogoti kita luar dan dalam. Kalau kita memilih good mood, maka tidak akan ada yang dapat menenggelamkan kita dalam kesedihan dan kemurungan.

So, dalam menghadapi aktivitas hari ini atau besok, mood apa yang kalian pilih?

-Bray-
@bayurohmantika

Note: mood baik selalu bisa dibangun dengan lagu yang bagus. Untuk itu, gua mendengarkan lagu Franz Ferdinand yang "Take Me Out" untuk mengiringi penulisan artikel ini.

READ MORE - Ayo Pilih: Good Mood atau Bad Mood?

Deadline: Kawan Atau Lawan?


Deadline bisa diartikan sebagai batas akhir atau tenggat waktu, dalam hal ini mengacu pada suatu pekerjaan tertentu. Kata ini seringkali dianggap sebagai hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang, karena deadline berarti garis maut, dalam artian batas waktu yang harus dipenuhi. Menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan deadline berarti "selamat", sementara jika pekerjaannya diselesaikan melewati deadline, artinya "tamat".

Gua adalah seorang pekerja kantoran yang setiap bulannya berkutat dengan deadline untuk memproses laporan keuangan. Jika pekerjaan gua diselesaikan melewati deadline, dampaknya akan kacau, mempengaruhi pemakai laporan tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Intinya, deadline sudah jadi makanan pokok gua di lingkungan kerja. Tuntutan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline menjadi sebuah syarat yang tidak dapat diganggu gugat.

Biasanya saat mengetahui deadline sudah dekat membuat perasaan ini campur aduk, antara kesal dan cemas. Kesal karena seolah pekerjaan menjadi diburu-buru. Jika sudah diburu-buru, yang ada pikiran ini menjadi tidak terfokus dan hasil pekerjaan menjadi kurang sempurna karena terkadang melakukan kesalahan. Kalau sudah begini lebih tambah lagi kesalnya karena harus merevisi pekerjaan. Sementara perasaan cemas terus hinggap sepanjang menyelesaikan pekerjaan, khawatir apakah dapat diselesaikan sebelum deadline atau malah melampauinya. 

Kalau sudah begitu, gua seringkali menanamkan keinginan untuk "menyelesaikan pekerjaan dengan mencicil", atau dikerjakan jauh-jauh hari sebisanya, sehingga saat mendekati deadline, tidak terlalu banyak yang harus diselesaikan. Dengan demikian perasaan kesal dan cemas akan hilang. Apakah cara tersebut ampuh? Ternyata tidak 100%. Entah kenapa, ternyata sensasi "diburu-buru" lebih membuat gua untuk tergerak menyelesaikan dengan cepat, hehe. Tapi kini gua menetapkan deadline kecil-kecilan untuk pekerjaan, ibaratnya deadline bulanan adalah deadline utama, nah deadline kecil ini bertindak sebagai tumpuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar. Berhasilkah? Alhamdulillah berhasil, meski terkadang masih ditemui masalah disana-sini.

Kasus lainnya bisa ditemui saat gua menyelesaikan skripsi. Proses penyusunan skripsi yang coba dikerjakan jauh-jauh hari sebelumnya malah berujung "nanti, nanti dan nanti." Saat sudah frustasi, gua menerapkan deadline bagi diri sendiri untuk menyelesaikan skripsi dengan cepat, demi mengejar sidang skripsi. Dari situ, pikiran ini lebih terbuka untuk memikirkan solusi pemecahan masalah, dan hebatnya, pertolongan muncul dari berbagai pihak. Merasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, gua pun berhasil menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.

Well, meskipun sering dibenci keberadannya, ternyata deadline pun penting untuk mengendalikan pekerjaan. Jika tidak ada deadline, maka pikiran ini tidak akan tertantang untuk bekerja dengan efektif. Kembali ke diri pribadi masing-masing, dan sepintar-pintarnya kita saja mengelola deadline. Yang terpenting adalah niat. Jika diniatkan, insya Allah semuanya lancar.

So... back to the main question: apakah deadline merupakan kawan.... atau lawan?

-Bray-
@Bayurohmantika

Note: Lagu "How Many Drinks" milik Miguel feat. Kendrick Lamar udah paling cocok untuk menemani penulisan postingan kali ini.

READ MORE - Deadline: Kawan Atau Lawan?

Apresiasi Itu Sangat Penting



Salah satu makna kata apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "Penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu." Apa bentuk sesuatu itu? Bisa apa saja, sepanjang merupakan sebuah hal yang bisa dilihat, didengar, dan dirasakan. Melakukan sebuah apresiasi memerlukan niat yang tulus, karena jika niatnya tidak tulus, maka hasilnya menjadi kurang bermakna.

Contoh, ada seorang murid membuat sebuah karya puisi dengan sepenuh hati. Meskipun hasilnya tidak seindah teman yang lain, dia yakin karyanya bagus. Sang guru hanya memberi komentar, "Hmm... lumayan" disertai raut wajah datar. Dijamin, mental si murid pasti akan jatuh, dan dia tidak akan tertarik untuk membuat puisi lebih jauh lagi. Akan berbeda rasanya jika si guru mengatakan, "Wah... bagus Nak, kamu udah membuat puisi seperti ini. Lanjutkan berkarya ya!" disertai senyum tulus. Kali ini gua jamin, mental si murid langsung kokoh untuk terus berkarya.

Dari contoh sederhana di atas, bisa dipahami kalau sebuah apresiasi yang diberikan dengan tulus jauh lebih berdampak positif bagi pihak yang menerimanya. Hal itu akan membangun mental yang baik bagi si penerima. Dia akan merasa bahwa milik/karyanya pantas untuk dilihat ke publik dan dia akan tertantang untuk menghasilkan karya lain yang lebih bagus ke depannya. 

Gua punya cerita tersendiri. Gua pernah diminta membuat sebuah video untuk mengenang masa bakti seorang direksi di kantor yang akan dipindahtugaskan ke perusahaan lain. Gua dan tim di kantor bekerja keras menghasilkan video yang bagus, padahal tidak ada perintah untuk menampilkan yang terbaik. Saat itu tim kami sepakat untuk membuat video perpisahan yang berbeda dengan yang lain, menggunakan teknik stop motion. Berhari-hari kami "jungkir balik" membuat adegan demi adegan hingga terkadang melupakan pekerjaan utama (hehe, jangan ditiru ya...). Singkat cerita, saat video tersebut ditampilkan di hadapan publik, ada perasaan senang saat menyaksikan wajah-wajah sumringah yang menonton. Terlebih saat kemudian beberapa rekan kerja menyatakan bahwa video tersebut bagus. Lebih menyenangkan lagi saat atasan gua sendiri yang memujinya. Saat itu rasanya gua pengen membuat karya lain yang lebih baik. Seolah-olah hasil jerih payah terbayar, bukan dalam bentuk "uang atau materi lain", melainkan dalam bentuk apresiasi.

See? As simple as that. Kelihatannya sepele, tapi kata-kata sangat berpengaruh bagi pikiran bawah sadar seseorang. Saat karya kita dianggap baik, kita akan menanamkan perasaan bahagia itu di alam bawah sadar, dan hal itu akan terus menstimulus kita untuk melakukan yang lebih baik lagi ke depannya. Bagaimana jika kita melihat sebuah karya yang menurut kita kurang bagus? Jangan pernah mengkritik secara terang-terangan, gunakan kalimat yang bijak, seperti, "Ini bagus lho, hebat, mungkin bisa lebih bagus lagi kalau..." disertai dengan senyum tulus dan kritik membangun.

Sekali lagi, hal ini sebenernya terlihat sepele, tapi dalam jangka panjang bisa berdampak positif. Lihat saja bagaimana para pembuat film di Hollywood sana sangat tertantang untuk membuat film terbaik demi mendapatkan anugerah Academy Award (atau istilah terkenalnya, Piala Oscar). Atau dalam industri musik dunia, ada penghargaan sekelas Grammy Award. Masih banyak jenis penghargaan lain untuk sektor lainnya, yang kesemuanya bersumber dari satu tindakan mulia: mengapresiasi sebuah karya

Gua mau mengutip sebuah kalimat yang gua dapet dari media sosial Linked In: 
"A person who feels appreciated will always do more than what is expected." Atau terjemahannya kira-kira begini: "Seseorang yang merasa diapresiasi akan melakukan suatu hal lebih dari yang diharapkan."

Wow, betapa hebatnya dampak apresiasi ini. Dalam lingkungan kerja, prinsip apresiasi ini mesti dijunjung tinggi, apalagi oleh atasan. Jika seorang atasan mengapresiasi hasil pekerjaan karyawannya dengan tulus, maka dengan sendirinya karyawan tersebut akan bekerja lebih baik lagi, dan akan timbul rasa "memiliki" terhadap perusahaan. Tidak hanya atasan, antar rekan kerja pun patut saling mengapresiasi. Di luar konteks lingkungan kerja, antar sesama teman ataupun keluarga juga diharapkan saling mengapresiasi satu sama lain. 

Satu hal kecil yang positif akan berdampak ke hal positif yang lebih besar. Yakinlah. Mari kita budayakan memberi apresiasi dengan baik. Remember, everyone wants to be appreciated.  :-)

-Bray-
@Bayurohmantika


Note: Musik Kyoto Jazz Massive feat. Victor Davies yang berjudul "Deep In Your Mind" mengalun indah mengiringi penulisan ini.
READ MORE - Apresiasi Itu Sangat Penting

Ironi Momen Mudik


Momen mudik telah usai, seiring dengan usainya bulan Ramadhan. Mudik itu sendiri ditandai dengan luapan manusia perantauan yang kembali ke kampung halaman masing-masing, entah itu di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Menyisakan kota-kota besar yang kosong dan menyemarakkan kota-kota di kampung halaman. 

Gua sendiri termasuk pihak yang mengalami momen mudik tahun ini, jadi bisa merasakan bagaimana hebatnya perjuangan para perantau memadati jalan demi menemui keluarga di kampung halaman. Mereka rela terjebak macet berjam-jam di jalan, beristirahat di jalan, makan dan minum di jalan, juga beribadah di jalan. Semua itu terbayar saat berhasil menginjakkan kaki di kampung halaman, bertemu orang tua, dan bernostalgia dengan kenangan masa kecil. 

Well, gua murni lahir dan dibesarkan di Jakarta, jadi pulang ke kampung halaman orang tua lebih ke menikmati pemandangan desa yang indah, bersilaturahmi dengan sanak saudara, juga mengingat momen terakhir menginjakkan kaki disana.

Bagi para perantau, kembali ke kampung halaman berarti juga menunjukkan hasil kesuksesan. Membawa serta keluarga, membawa bekal ini itu untuk orang tua, membawa cerita kesuksesan dari kota besar, dan sederet "harta" lain. Terlepas dari keinginan murni untuk bersilaturahmi, pasti ada sepercik keinginan untuk menunjukkan kepada orang di kampung halaman, khususnya orang tua, bahwa kita sebagai perantau, telah sukses menjalani kehidupan. Sukses menjadi "orang". Sudah tabiat manusia untuk gemar memamerkan apa yang ada dalam dirinya. Bukan berarti gua men-judge semua orang bertindak demikian, karena keinginan bersilaturahmi dengan keluarga tetap yang paling utama.

Saat pulang kembali ke kota besar, terutama Jakarta, para perantau kembali berjuang mengais rezeki demi bekal untuk pulang kampung tahun depan. Siklusnya terus berulang tiap tahun, dan akan berhenti saat ajal menjemput. Nah lho, kalau sudah begini, mau bagaimana? Data kepolisian (dilansir dari laman Republika Online) menyatakan bahwa jumlah korban meninggal selama Operasi Ketupat hingga H+5 lebaran 2015 mencapai 575 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Ini menunjukkan bahwa nyawa menjadi taruhan dalam proses mudik. Dalam dunia hewan, ini sama saja dengan "Great Migration", dan tidak sedikit hewan yang mati dalam proses migrasi besar-besaran tersebut.

Jika sudah demikian, bekal yang dipersiapkan jauh-jauh hari untuk dibawa ke kampung halaman menjadi sia-sia, karena kita keburu "dijemput" untuk antri menunggu masuk ke "kampung halaman" lain, yakni akhirat. Mungkin sebagian dari kita lupa bahwa masih ada kehidupan yang lebih kekal dari kehidupan di dunia ini, yakni di akhirat. Kalau banyak orang yang mempersiapkan bekal untuk mudik ke kampung halaman, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk kampung akhirat nanti?

Gua juga termasuk manusia yang masih berlumuran dosa, tapi mari bersama-sama renungkan kembali, dan berbenah. Mumpung masih diberi kesempatan hidup di dunia ini oleh Allah, sebaiknya pergunakan dengan baik.

-Bray-

Note: catatan kecil ini ditulis menjelang maghrib dan ditemani dengan iringan musik Adele yang "Hometown Glory".






READ MORE - Ironi Momen Mudik

Ekspresi Wajah: Haruskah Diatur?


Sumber: arts.gov

Topeng adalah benda buatan manusia yang digunakan di wajah, dengan tujuan menyembunyikan identitas atau sekedar bergaya. Bentuk topeng bermacam-macam, mulai dari yang sederhana hingga yang unik. Dalam sebuah pesta topeng, benda ini menjadi keunikan tersendiri yang wajib dikenakan pesertanya.

Topeng akan dibuat sedemikian rupa sehingga menyembunyikan wajah sang pengguna. Apakah menyembunyikan identitas sedemikian pentingnya? Well, untuk pesta topeng mungkin iya, tapi bagaimana dengan kehidupan nyata? Perlukah topeng? Jelas topeng dapat menyembunyikan ekspresi wajah kita, sehingga orang lain tidak dapat menebak apa yang sedang kita rasakan. Pertanyaan pentingnya: untuk apa kita menyembunyikan ekspresi wajah?

Wajah adalah beranda diri kita, apa yang ditampilkan disana dengan sendirinya menunjukkan pribadi kita. Jika kita marah, sedih, senang atau luapan emosi lain, maka wajah kita akan menunjukkannya, lengkap dengan gerak tubuh. Orang-orang akan dengan mudah menilai apakah kita sedang berada dalam suatu fase emosi tertentu dari ekspresi yang kita tampilkan.

Kenapa gua tertarik membahas ini? Karena ekspresi wajah dapat diatur sedemikian rupa. Jika kita kesal terhadap seseorang, ekspresi yang ditampilkan bisa jujur menyatakan kekesalan, atau justru ditutup-tutupi dengan ekspresi lain, misalnya senang, sehingga inilah yang disebut mengatur ekspresi wajah. Biasanya jika kita tidak senang akan kehadiran orang tertentu namun harus bersikap sebaliknya, dengan sendirinya kita akan mengatur ekspresi wajah agar tampak "senang dengan kehadiran seseorang yang tidak diinginkan". Apakah mudah? Tidak, tapi untuk beberapa orang, mereka akan dengan mudah melakukannya karena terbiasa. 

Wow.

Gua jadi inget film "The Purge". Film thriller ini bercerita mengenai negara Amerika di masa depan, dimana kejahatan dapat ditekan hingga level rendah. Apa kuncinya? Ternyata pemerintah menyediakan satu waktu khusus dimana warganya dapat melepaskan emosi yang terpendam kepada siapapun. Saat "the purge" dilaksanakan, warga diperbolehkan melakukan tindak kejahatan, agar emosinya tersalurkan, dalam hal ini termasuk membunuh (gawat kan?). Jadi saat "the purge" adalah saat dimana kriminalitas dilegalkan, dengan catatan setelah "the purge" selesai, warga dilarang melakukan tindakan kriminalitas. Setidaknya tingkat kriminalitas berhasil ditekan ke level terendah akibat pelaksanaan program "the purge" tersebut. Inilah yang menyebabkan pemerintah terus melegalkannya.

Wow, jika benar hal itu diterapkan di kehidupan nyata, entah akan seperti apa jadinya. Pemikiran bahwa kejahatan dapat dilegalkan tentu bertentangan dengan pandangan agama. Oke, gua ngga akan membahas sampe sedalem itu. Yang mau ditekankan disini adalah kenyataan bahwa tiap-tiap diri kita menyimpan emosi tersendiri, negatif maupun positif. Emosi yang negatif lah yang paling membahayakan. Dalam film "The Purge", manusia yang merayakan hal itu berharap dengan melepaskan emosi negatif melalui tindak kejahatan dapat membersihkan jiwa mereka. Jadi pembersihan jiwa diidentikkan dengan tindak kejahatan. Mereka yang merayakan "The Purge" akan melepas dendam mereka pada pihak-pihak tertentu yang tadinya justru akrab, atau pada sembarang orang.

Inilah uniknya. Kita jadi bertanya-tanya sendiri, apakah orang-orang yang terlihat ramah sebenarnya hanya memasang topeng tertentu di wajah, padahal hatinya berkata lain? Topeng tak terlihat yang disetel sedemikian rupa sehingga orang lain tidak akan melihat perbedaan antara apa yang ditampilkan dengan apa yang tersembunyi di hati. Bukannya mau berprasangka buruk, tapi tentunya ada sebagian orang yang kerap menggunakan topeng ekspresi ini, di saat-saat tertentu. Tingkat keberhasilannya diukur dari reaksi lawan bicara, jika lawan bicara terjebak dengan topeng ekspresi yang mereka pasang, maka strateginya berhasil. Atau jangan-jangan... lawan bicaranya juga sama-sama memasang topeng ekspresi kasat mata?

Jadi... berapa banyak orang yang memasang topeng ekspresi di luar sana? Pernahkah kita melakukannya? Atau... pertanyaan sesungguhnya, seberapa sering kita melakukannya?

-Bray-

Note: Lagu "Extraordinary" milik Clean Bandit feat. Sharna Bass mengiringi penulisan kali ini.
READ MORE - Ekspresi Wajah: Haruskah Diatur?

Tulisan Tangan yang Penuh Misteri



Kasus kematian yang tidak normal memang selalu memberikan sensasi misteri tersendiri, dan yang paling menyita perhatian tentu jika ada unsur pembunuhan yang menyebabkan kematian tersebut. Kita pasti akan tertarik mengetahui kenapa bisa terjadi pembunuhan, apa motif di baliknya, latar belakang korban, keluarga yang ditinggalkan dan sebagainya. Setiap orang selalu tertarik akan sesuatu yang di luar kebiasaan dan penuh drama, bukan?

Dalam beberapa bulan belakangan ini, saat membaca berita di koran, gua selalu tertarik dengan kasus kematian seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Akseyna Ahad Dori, yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga, UI, pada 26 Maret 2015. Mungkin kalian juga udah mengetahui kasusnya. Gua ga mau ikut campur berspekulasi apakah bener dia dibunuh atau ngga, yang menarik perhatian gua dari kasus ini adalah kejanggalan tulisan tangan di secarik kertas yang ditemukan di kamar kos Akseyna. 

Tulisan itu berbunyi: 
Will not return for eternity 
Please don't search for existence
My apologies for everything



Seorang grafolog dari American Handwriting Analysis Foundation, Deborah Dewi, telah dipanggil oleh Penyidik Kepolisian Resor Depok untuk menganalisis tulisan tangan tersebut, dan dia menyatakan bahwa tulisan itu memiliki kejanggalan, sehingga diragukan apakah Akseyna yang menulis semuanya. Deborah menyatakan bahwa tulisan tangan dalam surat tersebut dibuat oleh dua orang.

Nah lho...

Sekali lagi, gua ga mau ikut campur tentang kasus yang masih jadi misteri ini. Serahkan pada kepolisian yang terus mendalaminya. Gua mau mengomentari masalah membaca tulisan tangan. Dikutip dari detik.com, Deborah Dewi menyatakan bahwa tulisan tangan sulit dipalsukan. Tulisan tangan adalah sebuah alat ukur yang bisa menunjukkan kaitan kompleks antara otak dan pikiran manusia. Lebih lanjut Deborah menjelaskan bahwa tulisan tangan dihasilkan oleh otak sadar dan otak bawah sadar sekaligus. Pernyataan apa yang akan ditulis dihasilkan oleh otak sadar, sedangkan bentuk tulisan tangan yang dibuat merupakan hasil dari goresan otak bawah sadar. 

Banyak unsur-unsur dalam sebuah tulisan tangan yang menunjukkan karakter seseorang, sehingga ada ilmu tersendiri yang khusus mempelajarinya, yakni grafologi. Hebat ya, gua takjub gimana caranya orang bisa menganalisis sebuah tulisan tangan. Apa yang membuat mereka yakin bentuk sebuah tulisan tangan artinya adalah A dan bentuk yang lain berarti B, bukan C? Tentunya mereka memiliki sebuah prosedur dan alat analisa tersendiri, dan gua jadi tertarik mengetahuinya. Hebatnya lagi, analisis tulisan tangan kerap digunakan untuk memecahkan sebuah kasus pelik. Bayangkan, begitu pentingnya sebuah tulisan tangan. 

Masih banyak lho hal-hal yang memuat karakter seseorang, seperti bentuk wajah, telapak tangan, sidik jari, warna favorit, dan lain-lain. Keunikan inilah yang menjadikan kita... unik sebagai pribadi. Jadi secara tidak sadar, dalam keseharian, kita akan selalu menunjukkan karakter kita dengan segala atribut yang kita miliki.

So... just be yourself. Klise emang, tapi itulah yang bisa gua jadiin kalimat penutup. Oh ya, terkait kasus Akseyna, mari berharap ada titik terang yang diperoleh kepolisian, sehingga kasus ini tidak dibiarkan berlarut-larut.

-Bray-

Note: Lagu indah milik Bombay Bicycle Club yang "Shuffle" menemani gua menulis artikel ini.
READ MORE - Tulisan Tangan yang Penuh Misteri

Saat Manusia Diasosiasikan dengan Hewan


Ide yang dituangkan seorang penulis dalam sebuah tulisan memang menjadi kekuatan yang tidak ada duanya. Melalui permainan kata dengan mengotak-atik 26 alfabet (A-Z) dan sepuluh angka (0-9), seorang penulis merangkai kisah menjadi sebuah karya intelektual. Itulah hebatnya sebuah tulisan, apa pun bentuknya. Tak terkecuali karya sastra satu ini, Animal Farm, karangan sastrawan Inggris, George Orwell, terbitan tahun 1945.

Animal Farm menceritakan mengenai sekelompok hewan-hewan di Peternakan Manor (milik Mr. Jones), yang mendapat sebuah "pencerahan" dari seekor babi bernama Mayor Tua. Dia bermimpi suatu hari kaum manusia menghilang dan saat itu hewan-hewan mempunyai kebebasan untuk hidup, dengan kata lain dia telah menanamkan benih pemberontakan pada hewan-hewan di peternakan. Suatu malam, saat para hewan kelaparan karena jatah makan tidak sesuai harapan, mereka memberontak dengan mengusir manusia dari peternakan itu, dan mendeklarasikan nama baru "Peternakan Hewan", disertai membuat tujuh Hukum Kehewanan, dimana salah satunya menyatakan "semua binatang adalah sama". 

Tampuk kepemimpinan diserahkan ke kelompok babi, yang dianggap memiliki intelejensi tinggi dibanding hewan lain di peternakan. Dari kelompok babi, ada dua ekor yang terlihat menonjol: Snowball yang cerdas dan Napoleon yang berkarakter kuat/tegas. Mereka secara diam-diam berebut kekuasaan, dan mulai dari sini segala permasalahan muncul. Semua hewan mengira kehidupan mereka akan makmur, nyatanya mengurus peternakan tidaklah mudah. Masalah demi masalah muncul, dan lama-kelamaan mulai tampak siapa yang berkuasa penuh dan siapa yang tertindas. Benar inikah yang mereka harapkan?




Harus diakui, tidak mudah menuliskan satir politik, apalagi saat itu masa Perang Dunia II, dan buku ini mengkritik totalitarianisme Uni Soviet. George Orwell mampu merangkai kata sedemikian rupa dengan baik, dan menggunakan karakter hewan untuk mengasosiasikan dengan manusia. Sebuah langkah cerdas dan berani. Kita diajak untuk mengikuti perjuangan para hewan menggulingkan kekuasaan manusia (sama seperti pemberontakan kaum buruh), kemudian alur cerita semakin digarap lebih cerdas dengan memasukkan unsur "politik kotor" seperti korupsi, manipulasi dan semacamnya. Hebatnya, itu semua disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan karena menggunakan karakter hewan, membuat pembaca jadi bertanya-tanya sendiri, "Apa bedanya hewan-hewan ini dengan manusia yang tamak akan kekuasaan?"

Satu kalimat yang bisa gua kutip dari buku ini adalah: "Makhluk-makhluk di luar memandang dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi lagi; tetapi mustahil mengatakan mana yang satu dan mana yang lainnya" (halaman 140). Atau dengan kata lain... mereka tampak sama.

Satu lagi yang menarik, buku ini diterbitkan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, seumuran dengan negara tercinta kita ini. So, kalo ada yang berminat baca sastra klasik ini, sangat gua rekomendasikan untuk nambah wawasan, lebih ringan daripada kajian teori sosialis-komunis. Kalo buku ini susah dicari di toko buku, mending milih metode kayak yang gua lakuin: beli e-book nya dari Play Store.

-Bray-

Note: Emang pas banget saat mutusin untuk muter ulang lagunya Jake Bugg (dari Inggris juga) yang judulnya "Simple As This" untuk mengiringi penulisan ini.

READ MORE - Saat Manusia Diasosiasikan dengan Hewan

Penampilan Mempengaruhi Penilaian Seseorang



"Don't judge a book by its cover." 

Hm... ungkapan ini udah klise banget, dan sering dipake sama banyak orang untuk mengetengahkan bahwa penampilan seseorang tidak lantas menyatakan seperti itulah dirinya. Apa yang terlihat dari luar belum tentu sesuai dengan pikiran kita. 

Gua punya pengalaman unik mengenai "penghakiman" karakter berdasarkan penampilan ini. Jadi begini. Kantor gua punya peraturan agar karyawannya mengenakan seragam di hari tertentu, dengan logo perusahaan terpampang di bagian dada. Suatu hari, saat mengenakan seragam itu, gua memutuskan untuk mencari sebuah majalah di Gramedia sepulang kantor. Saat menyusuri deretan rak dan melihat-lihat buku yang menarik, tiba-tiba ada seorang ibu dengan anaknya mendekati gua dan bertanya, "Mas, maaf, buku pelajaran sekolah ada di mana ya?" Saat itu gua belom tahu alasan si ibu bertanya kepada gua, bukan ke orang lain, dan gua hanya bisa menggeleng sambil tersenyum seraya menjawab, "Coba aja Bu tanya sama petugasnya." 

Respon balik ibu itu adalah, "Oh, kirain Mas-nya petugas disini, maaf ya..." dia pun langsung melenggang pergi, meninggalkan gua yang hanya bisa melongo. Gua langsung berpikir, apa kiranya yang membuat ibu itu mengira gua salah satu staf Gramedia (gua ga tahu nama resmi pekerjaan mereka), dan mendapat jawabannya saat itu juga: pasti seragam kantor ini. Setelah gua bandingkan dengan staf Gramedia asli yang seliweran, gua ga menemukan kecocokkan antara seragam gua sama mereka. Lalu... kenapa ibu tadi mengira gua salah satu staf? 

Whatever. Gua pun meneruskan melihat-lihat. Saat pindah ke lantai dua, gua kembali dikejutkan dengan kedatangan sebuah keluarga (anak, ayah dan ibu) dengan si ayah mengajukan pertanyaan, "Mas, mau nanya, buku ini harganya berapa ya? Kok ngga ada price tag-nya." Mungkin karena dia melihat tampang gua yang keheranan, dia pun langsung berujar, "Oh maaf, bukan petugasnya ya. Maaf, saya kira..." si istri langsung menyalahkan suaminya dan meminta maaf sama gua. Gua hanya bisa tersenyum miris dan langsung berpikir keras, apa kiranya yang membuat orang-orang berpikir gua adalah salah satu staf di Gramedia? Selama ini kalau gua ke Gramedia, ngga pernah disangka sebagai salah satu staf penjaga. Jadi jelas seragam ini yang membuat perbedaan.

Oke, nevermind.  Untungnya gua sendiri ga pernah salah menilai pekerjaan seseorang dari penampilannya. Tapi beberapa bulan setelah kejadian di Gramedia itu, saat pergi untuk makan di luar bersama keluarga, gua memutuskan untuk makan di sebuah kedai bakso dan mie ayam yang ada di pinggir jalan. Saat itu yang ada di balik etalase rak penjual adalah seorang bapak-bapak yang berdiri dengan tenang. Dari penampilannya, terlihat dia adalah sang penjual. Gua pun langsung memesan menu, tapi dia langsung mengangkat tangannya dan bilang, "Maaf Mas, saya bukan penjualnya. Tunggu sebentar lagi, penjualnya lagi ke belakang nyari uang kembalian." Gua langsung mengutuk diri sendiri yang sudah ceroboh menilai seseorang dari penampilannya. 

Dalam keseharian, kita pasti sering menilai seseorang dari penampilannya. Penampilan memang sungguh menyatakan pribadi orang tersebut. Para eksekutif kantor yang berpenampilan rapi lengkap dengan jas dan dasi (untuk pria) pasti dianggap "pekerja profesional", beda dengan mereka yang menggunakan pakaian biasa saja untuk pergi ke kantor. Tapi... itu kan hanya penampilan. Bisa saja orang-orang yang mengenakan pakaian biasa saja untuk ke kantor ternyata seorang pekerja profesional melebihi para pekerja yang mengenakan seragam rapi, atau bahkan mungkin seorang bos? Kita ga akan tahu kalo belom mengenal lebih dalam. 

Untuk tujuan khusus, penampilan merupakan hal penting jika ingin merebut perhatian orang-orang. Para SPG didandani hingga cantik saat menjual sebuah produk, tentu tujuan utamanya adalah agar diperhatikan orang-orang, dan berharap produk yang mereka jual dibeli. Lihat juga bagaimana para pejabat publik saat melakukan kampanye dalam pemilihan umum, penampilan mereka dirombak sebaik mungkin agar dapat merebut simpati publik, padahal senyum yang mereka jual belum tentu tulus. Masih banyak contoh lainnya tentang pentingnya penampilan untuk merebut perhatian banyak orang.

Hm, kalau penampilan luar bisa menipu, bagaimana kita menyikapinya? Well, tergantung kepada diri pribadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan selalu menilai seseorang dari penampilan, meskipun kita berprinsip: penampilan bukanlah segalanya. Tidak demikian. Jujur saja, kita akan selalu menghakimi penampilan seseorang sesuai apa yang kita lihat. Kegiatan "hakim-menghakimi penampilan" sebaiknya dibarengi dengan pemikiran bahwa di balik penampilan seseorang, tersimpan suatu karakter yang tidak kita ketahui. Bisa saja penampilannya garang dan menakutkan, padahal hatinya baik, atau sebaliknya.

So... ungkapan "don't judge a book by its cover" tampaknya akan selalu benar.

-Bray-

Note: gua menulis ini sembari diiringi lagu mantap dari Bag Raiders yang berjudul Way Back Home.

READ MORE - Penampilan Mempengaruhi Penilaian Seseorang

Malu Bertanya



Semua hal di dunia ini menyimpan misteri tersendiri, mulai dari hal terkecil sampai yang terbesar. Semua misteri tersebut jika dipelajari lebih lanjut dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia. Inilah yang selalu menjadi inti kegiatan para peneliti dalam bidang apapun: bertanya. Mereka akan selalu memiliki pertanyaan dalam benak mereka: "Bagaimana jika...?" "Kenapa hal ini bisa terjadi?" "Apa kiranya yang dapat menghentikan hal ini?" dan seterusnya. 

Pertanyaan semacam itu akan terus dilontarkan sampai jawabannya ditemukan, bisa dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, atau bahkan... belum terjawab hingga saat ini. Bisa saja, itulah sebabnya masih banyak misteri mengenai sesuatu yang belum terungkap.

Bagaimana jika tidak ada yang tertarik untuk melontarkan sebuah pertanyaan dalam benak mengenai suatu hal? Bagaimana jika tidak ada yang tertarik mengetahui apa kegunaan minyak bumi? Bagaimana jika tidak ada yang tertarik mengetahui cara membuat sebuah bangunan menjadi kokoh? Mungkin peradaban manusia tidak akan semaju sekarang. Mungkin blog ini juga tidak akan pernah ada.

Terkait dengan masalah pertanyaan, gua pernah mengikuti sebuah workshop, mewakili kantor. Peserta workshop dibagi ke dalam beberapa meja bundar, setiap meja diisi sekurang-kurangnya enam orang, maksimal sepuluh orang.

Satu-persatu peserta mulai berdatangan, dan akhirnya meja gua diisi oleh enam orang, perhitungan minimum yang dibutuhkan. Setelah berbasa-basi sejenak ("siapa namanya?" "dari perusahaan mana?" "bergerak di bidang apa?") dengan peserta terdekat, gua pun menekuni bahan materi, karena semua peserta terlihat sangat serius dan tidak mau diganggu. Mungkin mereka berpikir, "kapan acara ini selesai?".

Saat materi dipresentasikan oleh pembicara, semua orang terlihat serius mengikuti, sebagian ada yang menulis melalui catatan, dan ada pula yang menekuni layar smartphone-nya, mungkin ada urusan kantor yang harus diselesaikan. Gua awalnya bisa mengikuti materi, namun lama-kelamaan mulai tertinggal, karena pembicara menyampaikan materi dengan cepat, seolah-olah semua peserta udah ngerti istilah yang digunakan. Sempat panik sesaat, gua hanya mencoba menutupinya dengan sikap tenang. 
Gua berusaha mengikuti ketertinggalan, meskipun di beberapa bagian ada yang tidak dimengerti. Saat itu gua melihat semua peserta di meja gua tampak diam dan manggut-manggut, mungkin mereka semua udah mengerti. Wow hebat. Hati kecil gua menyuruh untuk bertanya, tapi gua malu.

Kenapa malu? Malu karena takut dianggap tidak menguasai materi yang seharusnya sudah dipahami oleh setiap peserta. Jujur, sebagian dari materi itu sudah pernah dipelajari di bangku kuliah, tapi gua lupa, dan untuk mengingatnya lagi sulit, sementara pembicara menyampaikan materi itu dengan anggapan semua sudah mengerti. Sementara sebagian materi sisanya adalah penjelasan baru, dan ada juga yang belum gua pahami prosesnya.

Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan workshop sesungguhnya: latihan mengerjakan soal, yang mana caranya sama seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Waduh, dalam hati gua bertanya-tanya, "bagaimana kalau gua ga bisa ngerjain?". Ternyata itu tugas tim, dan satu meja otomatis menjadi satu tim. Disini gua merasa kerdil, karena berpikir bahwa pasti yang lain sudah menguasai materi yang disampaikan. Hasilnya di luar dugaan: hampir semua peserta tertatih-tatih mengerjakan, bahkan ada yang bingung setengah mati! Haha. Gua menyadari bahwa ternyata gua ga sendiri, dan dari situ kepercayaan diri gua muncul. Gua mencoba bertanya sama peserta lain tentang beberapa hal yang tidak dimengerti, dan hal ini diikuti oleh peserta lain. Efek domino pun terjadi. Semua orang mulai menanyakan apa yang sedari tadi membuat mereka bingung. Suasana pun mencair, tidak lagi ada kekakuan.

Akhirnya kita saling memecahkan masalah bersama, membuka kembali bahan materi dan mengajukan solusi pemecahan masalah. Meskipun hasil akhirnya kurang sempurna (jawabannya selisih sedikit dengan jawaban yang benar), tapi gua memperoleh sesuatu yang unik: tidak semua orang berani bertanya. Memang ada beberapa orang yang terlihat menonjol sepanjang acara, tapi sepertinya sebagian besar terjangkit penyakit sama: malu bertanya karena takut dianggap bodoh.

Kalau acara tidak dilanjutkan dengan latihan soal, mungkin sampai sekarang gua ga akan mengerti materi yang disampaikan, dan pertanyaannya masih ada di otak. 

Well, malu bertanya sesat di jalan. Emang bener banget itu. Jangan takut dianggap bodoh, meskipun kenyataannya ketakutan semacam itu sulit dihilangkan, haha. Salut deh sama para peneliti yang terus-menerus berkutat dengan pertanyaan untuk mencari pemecahan masalah. 

-Bray-

Note: lagu Electric Guest yang berjudul "This Head I Hold" menemani penulisan artikel ini.
READ MORE - Malu Bertanya

Andai Ada Remote Control Kehidupan



Menonton televisi adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Melalui sebuah mesin berteknologi canggih yang dikembangkan untuk menerima siaran gambar bergerak beserta suara, produk yang satu ini telah merevolusi cara manusia dalam beraktivitas. Hampir semua tempat tinggal saat ini dilengkapi dengan televisi, dan menjadi sebuah hiburan murah meriah untuk melepas penat. Seluruh stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan program terbaik agar dapat ditonton banyak orang. Pada intinya mereka mendorong kita, sebagai konsumen, untuk terus menghabiskan waktu di depan televisi. 

Satu hal yang unik dari sebuah televisi adalah keberadaan remote control. Benda mungil ini muncul untuk membantu kita mengubah saluran televisi sesuai keinginan dan segudang kegunaan lainnya. Bentuknya macam-macam, tombolnya juga beragam, hingga kadang pusing sendiri apakah semuanya berguna bagi kita. 

Remote control tidak akan berada jauh dari jangkauan tangan kita saat menonton televisi, karena jika sewaktu-waktu kita bosan menonton sebuah acara (atau saat jeda iklan), dengan mudahnya kita dapat menekan tombol untuk mengganti saluran. Saluran yang dipilih beragam, terutama yang menggunakan televisi berlangganan dengan paket full channel, wah... surga tersendiri. Tinggal klik, kita bisa menonton acara yang sesuai dengan keinginan.

Gua jadi ngebayangin, apa rasanya kalo ada remote control untuk kehidupan ini? Seperti film Click, dimana kita dapat mem-fast forward waktu dengan mudah. Film yang dibintangi oleh Adam Sandler ini tepat menggambarkan sebuah remote control yang sangat fatal jika diterapkan ke dalam kehidupan. Jika dalam film Click si remote control bisa mem-fast forward waktu, bagaimana dengan tombol rewind? Tentu sama fatalnya dengan fast forward.

Tombol rewind didesain untuk mengulang kembali sebuah momen dalam suatu acara, dan jika diterapkan ke kehidupan, berarti mengulang kembali momen tertentu di masa lalu. Apa yang bisa kita lakukan? Tentu memperbaiki kesalahan di masa lalu dan berharap saat kembali ke masa depan, kesalahan tersebut telah berubah menjadi sebuah kesuksesan. Ah, rasanya semua orang pasti pengen punya remote control kayak begitu. Pasti banyak di antara kita yang punya pengalaman pahit di masa lalu dan berharap dapat mengulang kembali momen tersebut dan mengubahnya. 

Gua juga pengen. Ada beberapa hal yang pengen gua rubah, tapi sayangnya itu semua cuma angan belaka. Dan gua jadi kepikiran, jika ada, apakah tombol rewind-lah yang kita inginkan? Apakah jika bisa mengulang waktu, otomatis semua kenyataan saat ini berubah sesuai keinginan? Bukankah mengubah suatu momen di masa lalu berarti mengubah seluruh kejadian yang mengikutinya? Rumit? Of course. That's why there is no remote control for life, guys

Tegarlah menghadapi momen yang telah berlalu dan do the best for the future.

Manusia telah diberi oleh Allah waktu dalam hidup ini secukupnya, dan kita diharapkan menggunakan waktu tersebut dipenuhi dengan hal-hal yang berguna untuk kehidupan akhirat kelak. Keinginan untuk memutar ulang waktu atau mempercepat waktu sayangnya harus dikubur dalam-dalam, dan yang dapat kita lakukan saat ini adalah bagaimana membuat waktu (mulai detik ini) berguna bagi kehidupan kita saat ini, juga di masa mendatang, karena waktu tidak akan pernah bisa kembali. 

Well, untuk saat ini tampaknya gua harus puas memain-mainkan "waktu" dengan remote control untuk televisi/DVD player aja, bukan untuk kehidupan. Hmh...

-Bray-

Note: Iringan lembut musik Psapp yang berjudul "Cosy In The Rocket" menemani penulisan postingan ini.



READ MORE - Andai Ada Remote Control Kehidupan

Ketakutan Hanya Ada di Pikiran



Saat ingin melakukan sesuatu, apakah kita pernah merasakan semacam perasaan takut bahwa hasilnya akan tidak sesuai dengan yang diharapkan? Gua sering begitu, menimbang banyak keputusan terbaik, terus dipikirin sampe kadang ujung-ujungnya ga jadi dilaksanain saking takutnya menghadapi kemungkinan terburuk. 

Ada beberapa kejadian akhir-akhir ini yang membuat gua berpikir bahwa sebaiknya memang "jalankan dulu dengan keyakinan penuh dan usaha terbaik, sisanya serahkan pada Allah." Guess what? Apa yang gua pikirin bakal buruk, ternyata hasilnya malah di luar dugaan, alias baik. Contohnya dalam hal pekerjaan. Gua diminta membuat laporan yang luar biasa melelahkan, berbelit-belit, dan membingungkan. Laporan itu jauh dari kata sempurna, dan yang ada di pikiran cuma "gagal, gagal, gagal". Gua takut banget hasilnya ditolak atasan. Saat deadline, gua cuma bisa berharap ga akan dipecat. Ternyata... laporan gua cuma perlu direvisi sedikit, tanpa embel-embel makian dan semacamnya. Wow... tentu saja ini membuat perasaan gua plong, dan meruntuhkan semua ketakutan yang ada.

Ketakutan itu hanya ada di dalam pikiran semata.

Mungkin ada faktor keberuntungan yang membuat itu semua terjadi, tapi gua percaya kalo kita melakukan sesuatu dengan keyakinan penuh dan memberikan usaha terbaik, hasilnya pun akan baik. Jika gagal... teruslah dicoba hingga menjadi berhasil. Kalau Kolonel Sanders (pendiri Kentucky Fried Chicken) menyerah saat ditolak 1.009 kali saat menawarkan resep ayam gorengnya ke restoran, mungkin kita ga akan merasakan nikmatnya ayam goreng KFC saat ini. See? Biasanya mental block-lah yang menghalangi kita untuk bergerak maju. (terkait mental block, bisa dilihat postingan sebelumnya Mental Block). 

Tidak semua keburukan yang kita bayangkan akan terjadi benar-benar terjadi, untuk itu hanya perlu kekuatan untuk maju dan melakukan yang terbaik. Ingat, kalau kita menanamkan ketakutan akan gagal pada alam bawah sadar, maka hasilnya hidup kita akan dipenuhi dengan ketakutan akan gagal.

Have no fear dan buktikan kita adalah pribadi yang terbaik.

-Bray-

Note: Lagu milik X Ambassadors yang "Renegades" mengiringi penulisan artikel ini. Ada frase "have no fear" yang gua comot dari liriknya untuk dijadiin tema penulisan.
READ MORE - Ketakutan Hanya Ada di Pikiran

Manfaat Tidur Dalam Keadaan Gelap



Tidur adalah aktivitas yang akan selalu dilakukan oleh setiap orang, tidak mengenal usia, gender ataupun pangkat. Aktivitas yang satu ini tidak pernah absen dalam siklus hidup normal seseorang setiap harinya (kecuali dia melakukan aktivitas abnormal dengan tidak tidur seharian penuh... itu cerita lain). Tubuh kita sudah didesain kapan harus digerakkan untuk bekerja dan kapan harus diistirahatkan untuk "mengatur ulang" energi. 

Ada yang bilang kita harus tidur antara tujuh sampai delapan jam sehari, ada yang mengatakan pula kalau durasi tidak berpengaruh, yang lebih berpengaruh adalah kualitas tidurnya. Kedua hal tersebut ada benarnya. Apapun teori yang digunakan, toh setiap harinya sebisa mungkin gua akan mencoba mempraktekkan tidur antara tujuh sampai delapan jam sehari, meskipun dalam prakteknya sering kesulitan juga hehe. Pola aktivitas di zaman modern ini telah mengubah sebagian besar pola tidur masyarakat, termasuk gua. Belum lagi keberadaan alat elektronik semacam televisi dan gadget yang seolah-olah menjadi "a must see items" sebelum tidur.

Dulu gua selalu tidur dalam keadaan kamar terang. Neon Tubular Lamp (TL) 18 Watt menjadi item penerang di kamar, on terus sepanjang gua tidur. Hasilnya? Setiap pagi gua selalu merasa pusing & ga bersemangat, ditambah dengan ingatan tumpukan kerjaan di hari itu (jika hari kerja) yang harus diberesin. Rasanya pengen balik tidur dan melupakan semuanya. Sampai suatu hari, rekan kerja di kantor pernah bilang kalau sebaiknya lampu dimatikan saat kita tidur, bermanfaat untuk kesehatan.

Kemudian insiden tak terduga terjadi. Lampu di kamar rusak, tepat di malam hari. Karena merasa sia-sia mencari penggantinya, gua memutuskan untuk tidur dalam kondisi gelap. Awalnya sedikit ketakutan, karena biasanya ga pernah gelap. Tapi lama kelamaan nyenyak juga, dan... paginya pas bangun badan rasanya seger. Entah karena tidurnya ga kemaleman, atau emang karena perubahan lampu, entahlah... yang pasti itu merubah mindset gua: tidur sebaiknya dalam kondisi lampu mati. Ternyata emang manfaatnya bagus untuk kesehatan. 

Menurut ahli biologi Joan Robert (dari beberapa blog kesehatan), tubuh baru bisa memproduksi hormon melatonin saat tidak ada cahaya. Adanya cahaya atau sinar akan membuat produksi hormon melatonin akan berhenti (nah lho...). 

Beberapa fungsi hormon melatonin adalah:
* Meningkatkan daya tahan sel terhadap berbagai gangguan dari luar.
* Memerangi dan mencegah berbagai penyakit termasuk kanker payudara dan kanker prostat.
* Mempengaruhi kesehatan psikologis seseorang (terutama mood), dan meningkatkan kualitas tidur sehingga tidur menjadi lebih nyenyak.

Nah itu rangkumannya. Penjelasan lebih detil bisa dicari sendiri di internet, biar lebih yakin. Intinya, gua sendiri telah mempraktekkan tidur dalam kondisi ruangan gelap dan bangun dalam kondisi segar sehingga siap memulai hari baru. Mungkin sebagian orang akan merasa takut kalau kondisi ruangan gelap, takut ada penampakan lah, takut mimpi buruk lah, takut ada penjahat dan sebagainya. Pahamilah bahwa semua ketakutan itu cuma ada di kepala kita doang. Berdoalah sebelum tidur dan yakin Allah akan menjaga kita selama tidur... insya allah tidur kita bebas dari segala gangguan. 

-Bray-

Note: Lagu "Sleep" dari Azure Ray mengiringi penulisan postingan ini.



READ MORE - Manfaat Tidur Dalam Keadaan Gelap
 
Powered by Blogger.