Malu Bertanya
Semua hal di dunia ini menyimpan misteri tersendiri, mulai dari hal terkecil sampai yang terbesar. Semua misteri tersebut jika dipelajari lebih lanjut dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia. Inilah yang selalu menjadi inti kegiatan para peneliti dalam bidang apapun: bertanya. Mereka akan selalu memiliki pertanyaan dalam benak mereka: "Bagaimana jika...?" "Kenapa hal ini bisa terjadi?" "Apa kiranya yang dapat menghentikan hal ini?" dan seterusnya.
Pertanyaan semacam itu akan terus dilontarkan sampai jawabannya ditemukan, bisa dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, atau bahkan... belum terjawab hingga saat ini. Bisa saja, itulah sebabnya masih banyak misteri mengenai sesuatu yang belum terungkap.
Bagaimana jika tidak ada yang tertarik untuk melontarkan sebuah pertanyaan dalam benak mengenai suatu hal? Bagaimana jika tidak ada yang tertarik mengetahui apa kegunaan minyak bumi? Bagaimana jika tidak ada yang tertarik mengetahui cara membuat sebuah bangunan menjadi kokoh? Mungkin peradaban manusia tidak akan semaju sekarang. Mungkin blog ini juga tidak akan pernah ada.
Terkait dengan masalah pertanyaan, gua pernah mengikuti sebuah workshop, mewakili kantor. Peserta workshop dibagi ke dalam beberapa meja bundar, setiap meja diisi sekurang-kurangnya enam orang, maksimal sepuluh orang.
Satu-persatu peserta mulai berdatangan, dan akhirnya meja gua diisi oleh enam orang, perhitungan minimum yang dibutuhkan. Setelah berbasa-basi sejenak ("siapa namanya?" "dari perusahaan mana?" "bergerak di bidang apa?") dengan peserta terdekat, gua pun menekuni bahan materi, karena semua peserta terlihat sangat serius dan tidak mau diganggu. Mungkin mereka berpikir, "kapan acara ini selesai?".
Saat materi dipresentasikan oleh pembicara, semua orang terlihat serius mengikuti, sebagian ada yang menulis melalui catatan, dan ada pula yang menekuni layar smartphone-nya, mungkin ada urusan kantor yang harus diselesaikan. Gua awalnya bisa mengikuti materi, namun lama-kelamaan mulai tertinggal, karena pembicara menyampaikan materi dengan cepat, seolah-olah semua peserta udah ngerti istilah yang digunakan. Sempat panik sesaat, gua hanya mencoba menutupinya dengan sikap tenang.
Gua berusaha mengikuti ketertinggalan, meskipun di beberapa bagian ada yang tidak dimengerti. Saat itu gua melihat semua peserta di meja gua tampak diam dan manggut-manggut, mungkin mereka semua udah mengerti. Wow hebat. Hati kecil gua menyuruh untuk bertanya, tapi gua malu.
Kenapa malu? Malu karena takut dianggap tidak menguasai materi yang seharusnya sudah dipahami oleh setiap peserta. Jujur, sebagian dari materi itu sudah pernah dipelajari di bangku kuliah, tapi gua lupa, dan untuk mengingatnya lagi sulit, sementara pembicara menyampaikan materi itu dengan anggapan semua sudah mengerti. Sementara sebagian materi sisanya adalah penjelasan baru, dan ada juga yang belum gua pahami prosesnya.
Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan workshop sesungguhnya: latihan mengerjakan soal, yang mana caranya sama seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Waduh, dalam hati gua bertanya-tanya, "bagaimana kalau gua ga bisa ngerjain?". Ternyata itu tugas tim, dan satu meja otomatis menjadi satu tim. Disini gua merasa kerdil, karena berpikir bahwa pasti yang lain sudah menguasai materi yang disampaikan. Hasilnya di luar dugaan: hampir semua peserta tertatih-tatih mengerjakan, bahkan ada yang bingung setengah mati! Haha. Gua menyadari bahwa ternyata gua ga sendiri, dan dari situ kepercayaan diri gua muncul. Gua mencoba bertanya sama peserta lain tentang beberapa hal yang tidak dimengerti, dan hal ini diikuti oleh peserta lain. Efek domino pun terjadi. Semua orang mulai menanyakan apa yang sedari tadi membuat mereka bingung. Suasana pun mencair, tidak lagi ada kekakuan.
Akhirnya kita saling memecahkan masalah bersama, membuka kembali bahan materi dan mengajukan solusi pemecahan masalah. Meskipun hasil akhirnya kurang sempurna (jawabannya selisih sedikit dengan jawaban yang benar), tapi gua memperoleh sesuatu yang unik: tidak semua orang berani bertanya. Memang ada beberapa orang yang terlihat menonjol sepanjang acara, tapi sepertinya sebagian besar terjangkit penyakit sama: malu bertanya karena takut dianggap bodoh.
Kalau acara tidak dilanjutkan dengan latihan soal, mungkin sampai sekarang gua ga akan mengerti materi yang disampaikan, dan pertanyaannya masih ada di otak.
Well, malu bertanya sesat di jalan. Emang bener banget itu. Jangan takut dianggap bodoh, meskipun kenyataannya ketakutan semacam itu sulit dihilangkan, haha. Salut deh sama para peneliti yang terus-menerus berkutat dengan pertanyaan untuk mencari pemecahan masalah.
-Bray-
Note: lagu Electric Guest yang berjudul "This Head I Hold" menemani penulisan artikel ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bener, itu dia intinya :-)
ReplyDelete