Tulisan Tangan yang Penuh Misteri



Kasus kematian yang tidak normal memang selalu memberikan sensasi misteri tersendiri, dan yang paling menyita perhatian tentu jika ada unsur pembunuhan yang menyebabkan kematian tersebut. Kita pasti akan tertarik mengetahui kenapa bisa terjadi pembunuhan, apa motif di baliknya, latar belakang korban, keluarga yang ditinggalkan dan sebagainya. Setiap orang selalu tertarik akan sesuatu yang di luar kebiasaan dan penuh drama, bukan?

Dalam beberapa bulan belakangan ini, saat membaca berita di koran, gua selalu tertarik dengan kasus kematian seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Akseyna Ahad Dori, yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga, UI, pada 26 Maret 2015. Mungkin kalian juga udah mengetahui kasusnya. Gua ga mau ikut campur berspekulasi apakah bener dia dibunuh atau ngga, yang menarik perhatian gua dari kasus ini adalah kejanggalan tulisan tangan di secarik kertas yang ditemukan di kamar kos Akseyna. 

Tulisan itu berbunyi: 
Will not return for eternity 
Please don't search for existence
My apologies for everything



Seorang grafolog dari American Handwriting Analysis Foundation, Deborah Dewi, telah dipanggil oleh Penyidik Kepolisian Resor Depok untuk menganalisis tulisan tangan tersebut, dan dia menyatakan bahwa tulisan itu memiliki kejanggalan, sehingga diragukan apakah Akseyna yang menulis semuanya. Deborah menyatakan bahwa tulisan tangan dalam surat tersebut dibuat oleh dua orang.

Nah lho...

Sekali lagi, gua ga mau ikut campur tentang kasus yang masih jadi misteri ini. Serahkan pada kepolisian yang terus mendalaminya. Gua mau mengomentari masalah membaca tulisan tangan. Dikutip dari detik.com, Deborah Dewi menyatakan bahwa tulisan tangan sulit dipalsukan. Tulisan tangan adalah sebuah alat ukur yang bisa menunjukkan kaitan kompleks antara otak dan pikiran manusia. Lebih lanjut Deborah menjelaskan bahwa tulisan tangan dihasilkan oleh otak sadar dan otak bawah sadar sekaligus. Pernyataan apa yang akan ditulis dihasilkan oleh otak sadar, sedangkan bentuk tulisan tangan yang dibuat merupakan hasil dari goresan otak bawah sadar. 

Banyak unsur-unsur dalam sebuah tulisan tangan yang menunjukkan karakter seseorang, sehingga ada ilmu tersendiri yang khusus mempelajarinya, yakni grafologi. Hebat ya, gua takjub gimana caranya orang bisa menganalisis sebuah tulisan tangan. Apa yang membuat mereka yakin bentuk sebuah tulisan tangan artinya adalah A dan bentuk yang lain berarti B, bukan C? Tentunya mereka memiliki sebuah prosedur dan alat analisa tersendiri, dan gua jadi tertarik mengetahuinya. Hebatnya lagi, analisis tulisan tangan kerap digunakan untuk memecahkan sebuah kasus pelik. Bayangkan, begitu pentingnya sebuah tulisan tangan. 

Masih banyak lho hal-hal yang memuat karakter seseorang, seperti bentuk wajah, telapak tangan, sidik jari, warna favorit, dan lain-lain. Keunikan inilah yang menjadikan kita... unik sebagai pribadi. Jadi secara tidak sadar, dalam keseharian, kita akan selalu menunjukkan karakter kita dengan segala atribut yang kita miliki.

So... just be yourself. Klise emang, tapi itulah yang bisa gua jadiin kalimat penutup. Oh ya, terkait kasus Akseyna, mari berharap ada titik terang yang diperoleh kepolisian, sehingga kasus ini tidak dibiarkan berlarut-larut.

-Bray-

Note: Lagu indah milik Bombay Bicycle Club yang "Shuffle" menemani gua menulis artikel ini.
READ MORE - Tulisan Tangan yang Penuh Misteri

Saat Manusia Diasosiasikan dengan Hewan


Ide yang dituangkan seorang penulis dalam sebuah tulisan memang menjadi kekuatan yang tidak ada duanya. Melalui permainan kata dengan mengotak-atik 26 alfabet (A-Z) dan sepuluh angka (0-9), seorang penulis merangkai kisah menjadi sebuah karya intelektual. Itulah hebatnya sebuah tulisan, apa pun bentuknya. Tak terkecuali karya sastra satu ini, Animal Farm, karangan sastrawan Inggris, George Orwell, terbitan tahun 1945.

Animal Farm menceritakan mengenai sekelompok hewan-hewan di Peternakan Manor (milik Mr. Jones), yang mendapat sebuah "pencerahan" dari seekor babi bernama Mayor Tua. Dia bermimpi suatu hari kaum manusia menghilang dan saat itu hewan-hewan mempunyai kebebasan untuk hidup, dengan kata lain dia telah menanamkan benih pemberontakan pada hewan-hewan di peternakan. Suatu malam, saat para hewan kelaparan karena jatah makan tidak sesuai harapan, mereka memberontak dengan mengusir manusia dari peternakan itu, dan mendeklarasikan nama baru "Peternakan Hewan", disertai membuat tujuh Hukum Kehewanan, dimana salah satunya menyatakan "semua binatang adalah sama". 

Tampuk kepemimpinan diserahkan ke kelompok babi, yang dianggap memiliki intelejensi tinggi dibanding hewan lain di peternakan. Dari kelompok babi, ada dua ekor yang terlihat menonjol: Snowball yang cerdas dan Napoleon yang berkarakter kuat/tegas. Mereka secara diam-diam berebut kekuasaan, dan mulai dari sini segala permasalahan muncul. Semua hewan mengira kehidupan mereka akan makmur, nyatanya mengurus peternakan tidaklah mudah. Masalah demi masalah muncul, dan lama-kelamaan mulai tampak siapa yang berkuasa penuh dan siapa yang tertindas. Benar inikah yang mereka harapkan?




Harus diakui, tidak mudah menuliskan satir politik, apalagi saat itu masa Perang Dunia II, dan buku ini mengkritik totalitarianisme Uni Soviet. George Orwell mampu merangkai kata sedemikian rupa dengan baik, dan menggunakan karakter hewan untuk mengasosiasikan dengan manusia. Sebuah langkah cerdas dan berani. Kita diajak untuk mengikuti perjuangan para hewan menggulingkan kekuasaan manusia (sama seperti pemberontakan kaum buruh), kemudian alur cerita semakin digarap lebih cerdas dengan memasukkan unsur "politik kotor" seperti korupsi, manipulasi dan semacamnya. Hebatnya, itu semua disajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan karena menggunakan karakter hewan, membuat pembaca jadi bertanya-tanya sendiri, "Apa bedanya hewan-hewan ini dengan manusia yang tamak akan kekuasaan?"

Satu kalimat yang bisa gua kutip dari buku ini adalah: "Makhluk-makhluk di luar memandang dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi lagi; tetapi mustahil mengatakan mana yang satu dan mana yang lainnya" (halaman 140). Atau dengan kata lain... mereka tampak sama.

Satu lagi yang menarik, buku ini diterbitkan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, seumuran dengan negara tercinta kita ini. So, kalo ada yang berminat baca sastra klasik ini, sangat gua rekomendasikan untuk nambah wawasan, lebih ringan daripada kajian teori sosialis-komunis. Kalo buku ini susah dicari di toko buku, mending milih metode kayak yang gua lakuin: beli e-book nya dari Play Store.

-Bray-

Note: Emang pas banget saat mutusin untuk muter ulang lagunya Jake Bugg (dari Inggris juga) yang judulnya "Simple As This" untuk mengiringi penulisan ini.

READ MORE - Saat Manusia Diasosiasikan dengan Hewan

Penampilan Mempengaruhi Penilaian Seseorang



"Don't judge a book by its cover." 

Hm... ungkapan ini udah klise banget, dan sering dipake sama banyak orang untuk mengetengahkan bahwa penampilan seseorang tidak lantas menyatakan seperti itulah dirinya. Apa yang terlihat dari luar belum tentu sesuai dengan pikiran kita. 

Gua punya pengalaman unik mengenai "penghakiman" karakter berdasarkan penampilan ini. Jadi begini. Kantor gua punya peraturan agar karyawannya mengenakan seragam di hari tertentu, dengan logo perusahaan terpampang di bagian dada. Suatu hari, saat mengenakan seragam itu, gua memutuskan untuk mencari sebuah majalah di Gramedia sepulang kantor. Saat menyusuri deretan rak dan melihat-lihat buku yang menarik, tiba-tiba ada seorang ibu dengan anaknya mendekati gua dan bertanya, "Mas, maaf, buku pelajaran sekolah ada di mana ya?" Saat itu gua belom tahu alasan si ibu bertanya kepada gua, bukan ke orang lain, dan gua hanya bisa menggeleng sambil tersenyum seraya menjawab, "Coba aja Bu tanya sama petugasnya." 

Respon balik ibu itu adalah, "Oh, kirain Mas-nya petugas disini, maaf ya..." dia pun langsung melenggang pergi, meninggalkan gua yang hanya bisa melongo. Gua langsung berpikir, apa kiranya yang membuat ibu itu mengira gua salah satu staf Gramedia (gua ga tahu nama resmi pekerjaan mereka), dan mendapat jawabannya saat itu juga: pasti seragam kantor ini. Setelah gua bandingkan dengan staf Gramedia asli yang seliweran, gua ga menemukan kecocokkan antara seragam gua sama mereka. Lalu... kenapa ibu tadi mengira gua salah satu staf? 

Whatever. Gua pun meneruskan melihat-lihat. Saat pindah ke lantai dua, gua kembali dikejutkan dengan kedatangan sebuah keluarga (anak, ayah dan ibu) dengan si ayah mengajukan pertanyaan, "Mas, mau nanya, buku ini harganya berapa ya? Kok ngga ada price tag-nya." Mungkin karena dia melihat tampang gua yang keheranan, dia pun langsung berujar, "Oh maaf, bukan petugasnya ya. Maaf, saya kira..." si istri langsung menyalahkan suaminya dan meminta maaf sama gua. Gua hanya bisa tersenyum miris dan langsung berpikir keras, apa kiranya yang membuat orang-orang berpikir gua adalah salah satu staf di Gramedia? Selama ini kalau gua ke Gramedia, ngga pernah disangka sebagai salah satu staf penjaga. Jadi jelas seragam ini yang membuat perbedaan.

Oke, nevermind.  Untungnya gua sendiri ga pernah salah menilai pekerjaan seseorang dari penampilannya. Tapi beberapa bulan setelah kejadian di Gramedia itu, saat pergi untuk makan di luar bersama keluarga, gua memutuskan untuk makan di sebuah kedai bakso dan mie ayam yang ada di pinggir jalan. Saat itu yang ada di balik etalase rak penjual adalah seorang bapak-bapak yang berdiri dengan tenang. Dari penampilannya, terlihat dia adalah sang penjual. Gua pun langsung memesan menu, tapi dia langsung mengangkat tangannya dan bilang, "Maaf Mas, saya bukan penjualnya. Tunggu sebentar lagi, penjualnya lagi ke belakang nyari uang kembalian." Gua langsung mengutuk diri sendiri yang sudah ceroboh menilai seseorang dari penampilannya. 

Dalam keseharian, kita pasti sering menilai seseorang dari penampilannya. Penampilan memang sungguh menyatakan pribadi orang tersebut. Para eksekutif kantor yang berpenampilan rapi lengkap dengan jas dan dasi (untuk pria) pasti dianggap "pekerja profesional", beda dengan mereka yang menggunakan pakaian biasa saja untuk pergi ke kantor. Tapi... itu kan hanya penampilan. Bisa saja orang-orang yang mengenakan pakaian biasa saja untuk ke kantor ternyata seorang pekerja profesional melebihi para pekerja yang mengenakan seragam rapi, atau bahkan mungkin seorang bos? Kita ga akan tahu kalo belom mengenal lebih dalam. 

Untuk tujuan khusus, penampilan merupakan hal penting jika ingin merebut perhatian orang-orang. Para SPG didandani hingga cantik saat menjual sebuah produk, tentu tujuan utamanya adalah agar diperhatikan orang-orang, dan berharap produk yang mereka jual dibeli. Lihat juga bagaimana para pejabat publik saat melakukan kampanye dalam pemilihan umum, penampilan mereka dirombak sebaik mungkin agar dapat merebut simpati publik, padahal senyum yang mereka jual belum tentu tulus. Masih banyak contoh lainnya tentang pentingnya penampilan untuk merebut perhatian banyak orang.

Hm, kalau penampilan luar bisa menipu, bagaimana kita menyikapinya? Well, tergantung kepada diri pribadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan selalu menilai seseorang dari penampilan, meskipun kita berprinsip: penampilan bukanlah segalanya. Tidak demikian. Jujur saja, kita akan selalu menghakimi penampilan seseorang sesuai apa yang kita lihat. Kegiatan "hakim-menghakimi penampilan" sebaiknya dibarengi dengan pemikiran bahwa di balik penampilan seseorang, tersimpan suatu karakter yang tidak kita ketahui. Bisa saja penampilannya garang dan menakutkan, padahal hatinya baik, atau sebaliknya.

So... ungkapan "don't judge a book by its cover" tampaknya akan selalu benar.

-Bray-

Note: gua menulis ini sembari diiringi lagu mantap dari Bag Raiders yang berjudul Way Back Home.

READ MORE - Penampilan Mempengaruhi Penilaian Seseorang
 
Powered by Blogger.