Deadline: Kawan Atau Lawan?


Deadline bisa diartikan sebagai batas akhir atau tenggat waktu, dalam hal ini mengacu pada suatu pekerjaan tertentu. Kata ini seringkali dianggap sebagai hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang, karena deadline berarti garis maut, dalam artian batas waktu yang harus dipenuhi. Menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan deadline berarti "selamat", sementara jika pekerjaannya diselesaikan melewati deadline, artinya "tamat".

Gua adalah seorang pekerja kantoran yang setiap bulannya berkutat dengan deadline untuk memproses laporan keuangan. Jika pekerjaan gua diselesaikan melewati deadline, dampaknya akan kacau, mempengaruhi pemakai laporan tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Intinya, deadline sudah jadi makanan pokok gua di lingkungan kerja. Tuntutan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline menjadi sebuah syarat yang tidak dapat diganggu gugat.

Biasanya saat mengetahui deadline sudah dekat membuat perasaan ini campur aduk, antara kesal dan cemas. Kesal karena seolah pekerjaan menjadi diburu-buru. Jika sudah diburu-buru, yang ada pikiran ini menjadi tidak terfokus dan hasil pekerjaan menjadi kurang sempurna karena terkadang melakukan kesalahan. Kalau sudah begini lebih tambah lagi kesalnya karena harus merevisi pekerjaan. Sementara perasaan cemas terus hinggap sepanjang menyelesaikan pekerjaan, khawatir apakah dapat diselesaikan sebelum deadline atau malah melampauinya. 

Kalau sudah begitu, gua seringkali menanamkan keinginan untuk "menyelesaikan pekerjaan dengan mencicil", atau dikerjakan jauh-jauh hari sebisanya, sehingga saat mendekati deadline, tidak terlalu banyak yang harus diselesaikan. Dengan demikian perasaan kesal dan cemas akan hilang. Apakah cara tersebut ampuh? Ternyata tidak 100%. Entah kenapa, ternyata sensasi "diburu-buru" lebih membuat gua untuk tergerak menyelesaikan dengan cepat, hehe. Tapi kini gua menetapkan deadline kecil-kecilan untuk pekerjaan, ibaratnya deadline bulanan adalah deadline utama, nah deadline kecil ini bertindak sebagai tumpuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar. Berhasilkah? Alhamdulillah berhasil, meski terkadang masih ditemui masalah disana-sini.

Kasus lainnya bisa ditemui saat gua menyelesaikan skripsi. Proses penyusunan skripsi yang coba dikerjakan jauh-jauh hari sebelumnya malah berujung "nanti, nanti dan nanti." Saat sudah frustasi, gua menerapkan deadline bagi diri sendiri untuk menyelesaikan skripsi dengan cepat, demi mengejar sidang skripsi. Dari situ, pikiran ini lebih terbuka untuk memikirkan solusi pemecahan masalah, dan hebatnya, pertolongan muncul dari berbagai pihak. Merasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, gua pun berhasil menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.

Well, meskipun sering dibenci keberadannya, ternyata deadline pun penting untuk mengendalikan pekerjaan. Jika tidak ada deadline, maka pikiran ini tidak akan tertantang untuk bekerja dengan efektif. Kembali ke diri pribadi masing-masing, dan sepintar-pintarnya kita saja mengelola deadline. Yang terpenting adalah niat. Jika diniatkan, insya Allah semuanya lancar.

So... back to the main question: apakah deadline merupakan kawan.... atau lawan?

-Bray-
@Bayurohmantika

Note: Lagu "How Many Drinks" milik Miguel feat. Kendrick Lamar udah paling cocok untuk menemani penulisan postingan kali ini.

READ MORE - Deadline: Kawan Atau Lawan?

Apresiasi Itu Sangat Penting



Salah satu makna kata apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "Penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu." Apa bentuk sesuatu itu? Bisa apa saja, sepanjang merupakan sebuah hal yang bisa dilihat, didengar, dan dirasakan. Melakukan sebuah apresiasi memerlukan niat yang tulus, karena jika niatnya tidak tulus, maka hasilnya menjadi kurang bermakna.

Contoh, ada seorang murid membuat sebuah karya puisi dengan sepenuh hati. Meskipun hasilnya tidak seindah teman yang lain, dia yakin karyanya bagus. Sang guru hanya memberi komentar, "Hmm... lumayan" disertai raut wajah datar. Dijamin, mental si murid pasti akan jatuh, dan dia tidak akan tertarik untuk membuat puisi lebih jauh lagi. Akan berbeda rasanya jika si guru mengatakan, "Wah... bagus Nak, kamu udah membuat puisi seperti ini. Lanjutkan berkarya ya!" disertai senyum tulus. Kali ini gua jamin, mental si murid langsung kokoh untuk terus berkarya.

Dari contoh sederhana di atas, bisa dipahami kalau sebuah apresiasi yang diberikan dengan tulus jauh lebih berdampak positif bagi pihak yang menerimanya. Hal itu akan membangun mental yang baik bagi si penerima. Dia akan merasa bahwa milik/karyanya pantas untuk dilihat ke publik dan dia akan tertantang untuk menghasilkan karya lain yang lebih bagus ke depannya. 

Gua punya cerita tersendiri. Gua pernah diminta membuat sebuah video untuk mengenang masa bakti seorang direksi di kantor yang akan dipindahtugaskan ke perusahaan lain. Gua dan tim di kantor bekerja keras menghasilkan video yang bagus, padahal tidak ada perintah untuk menampilkan yang terbaik. Saat itu tim kami sepakat untuk membuat video perpisahan yang berbeda dengan yang lain, menggunakan teknik stop motion. Berhari-hari kami "jungkir balik" membuat adegan demi adegan hingga terkadang melupakan pekerjaan utama (hehe, jangan ditiru ya...). Singkat cerita, saat video tersebut ditampilkan di hadapan publik, ada perasaan senang saat menyaksikan wajah-wajah sumringah yang menonton. Terlebih saat kemudian beberapa rekan kerja menyatakan bahwa video tersebut bagus. Lebih menyenangkan lagi saat atasan gua sendiri yang memujinya. Saat itu rasanya gua pengen membuat karya lain yang lebih baik. Seolah-olah hasil jerih payah terbayar, bukan dalam bentuk "uang atau materi lain", melainkan dalam bentuk apresiasi.

See? As simple as that. Kelihatannya sepele, tapi kata-kata sangat berpengaruh bagi pikiran bawah sadar seseorang. Saat karya kita dianggap baik, kita akan menanamkan perasaan bahagia itu di alam bawah sadar, dan hal itu akan terus menstimulus kita untuk melakukan yang lebih baik lagi ke depannya. Bagaimana jika kita melihat sebuah karya yang menurut kita kurang bagus? Jangan pernah mengkritik secara terang-terangan, gunakan kalimat yang bijak, seperti, "Ini bagus lho, hebat, mungkin bisa lebih bagus lagi kalau..." disertai dengan senyum tulus dan kritik membangun.

Sekali lagi, hal ini sebenernya terlihat sepele, tapi dalam jangka panjang bisa berdampak positif. Lihat saja bagaimana para pembuat film di Hollywood sana sangat tertantang untuk membuat film terbaik demi mendapatkan anugerah Academy Award (atau istilah terkenalnya, Piala Oscar). Atau dalam industri musik dunia, ada penghargaan sekelas Grammy Award. Masih banyak jenis penghargaan lain untuk sektor lainnya, yang kesemuanya bersumber dari satu tindakan mulia: mengapresiasi sebuah karya

Gua mau mengutip sebuah kalimat yang gua dapet dari media sosial Linked In: 
"A person who feels appreciated will always do more than what is expected." Atau terjemahannya kira-kira begini: "Seseorang yang merasa diapresiasi akan melakukan suatu hal lebih dari yang diharapkan."

Wow, betapa hebatnya dampak apresiasi ini. Dalam lingkungan kerja, prinsip apresiasi ini mesti dijunjung tinggi, apalagi oleh atasan. Jika seorang atasan mengapresiasi hasil pekerjaan karyawannya dengan tulus, maka dengan sendirinya karyawan tersebut akan bekerja lebih baik lagi, dan akan timbul rasa "memiliki" terhadap perusahaan. Tidak hanya atasan, antar rekan kerja pun patut saling mengapresiasi. Di luar konteks lingkungan kerja, antar sesama teman ataupun keluarga juga diharapkan saling mengapresiasi satu sama lain. 

Satu hal kecil yang positif akan berdampak ke hal positif yang lebih besar. Yakinlah. Mari kita budayakan memberi apresiasi dengan baik. Remember, everyone wants to be appreciated.  :-)

-Bray-
@Bayurohmantika


Note: Musik Kyoto Jazz Massive feat. Victor Davies yang berjudul "Deep In Your Mind" mengalun indah mengiringi penulisan ini.
READ MORE - Apresiasi Itu Sangat Penting

Ironi Momen Mudik


Momen mudik telah usai, seiring dengan usainya bulan Ramadhan. Mudik itu sendiri ditandai dengan luapan manusia perantauan yang kembali ke kampung halaman masing-masing, entah itu di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Menyisakan kota-kota besar yang kosong dan menyemarakkan kota-kota di kampung halaman. 

Gua sendiri termasuk pihak yang mengalami momen mudik tahun ini, jadi bisa merasakan bagaimana hebatnya perjuangan para perantau memadati jalan demi menemui keluarga di kampung halaman. Mereka rela terjebak macet berjam-jam di jalan, beristirahat di jalan, makan dan minum di jalan, juga beribadah di jalan. Semua itu terbayar saat berhasil menginjakkan kaki di kampung halaman, bertemu orang tua, dan bernostalgia dengan kenangan masa kecil. 

Well, gua murni lahir dan dibesarkan di Jakarta, jadi pulang ke kampung halaman orang tua lebih ke menikmati pemandangan desa yang indah, bersilaturahmi dengan sanak saudara, juga mengingat momen terakhir menginjakkan kaki disana.

Bagi para perantau, kembali ke kampung halaman berarti juga menunjukkan hasil kesuksesan. Membawa serta keluarga, membawa bekal ini itu untuk orang tua, membawa cerita kesuksesan dari kota besar, dan sederet "harta" lain. Terlepas dari keinginan murni untuk bersilaturahmi, pasti ada sepercik keinginan untuk menunjukkan kepada orang di kampung halaman, khususnya orang tua, bahwa kita sebagai perantau, telah sukses menjalani kehidupan. Sukses menjadi "orang". Sudah tabiat manusia untuk gemar memamerkan apa yang ada dalam dirinya. Bukan berarti gua men-judge semua orang bertindak demikian, karena keinginan bersilaturahmi dengan keluarga tetap yang paling utama.

Saat pulang kembali ke kota besar, terutama Jakarta, para perantau kembali berjuang mengais rezeki demi bekal untuk pulang kampung tahun depan. Siklusnya terus berulang tiap tahun, dan akan berhenti saat ajal menjemput. Nah lho, kalau sudah begini, mau bagaimana? Data kepolisian (dilansir dari laman Republika Online) menyatakan bahwa jumlah korban meninggal selama Operasi Ketupat hingga H+5 lebaran 2015 mencapai 575 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Ini menunjukkan bahwa nyawa menjadi taruhan dalam proses mudik. Dalam dunia hewan, ini sama saja dengan "Great Migration", dan tidak sedikit hewan yang mati dalam proses migrasi besar-besaran tersebut.

Jika sudah demikian, bekal yang dipersiapkan jauh-jauh hari untuk dibawa ke kampung halaman menjadi sia-sia, karena kita keburu "dijemput" untuk antri menunggu masuk ke "kampung halaman" lain, yakni akhirat. Mungkin sebagian dari kita lupa bahwa masih ada kehidupan yang lebih kekal dari kehidupan di dunia ini, yakni di akhirat. Kalau banyak orang yang mempersiapkan bekal untuk mudik ke kampung halaman, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk kampung akhirat nanti?

Gua juga termasuk manusia yang masih berlumuran dosa, tapi mari bersama-sama renungkan kembali, dan berbenah. Mumpung masih diberi kesempatan hidup di dunia ini oleh Allah, sebaiknya pergunakan dengan baik.

-Bray-

Note: catatan kecil ini ditulis menjelang maghrib dan ditemani dengan iringan musik Adele yang "Hometown Glory".






READ MORE - Ironi Momen Mudik

Ekspresi Wajah: Haruskah Diatur?


Sumber: arts.gov

Topeng adalah benda buatan manusia yang digunakan di wajah, dengan tujuan menyembunyikan identitas atau sekedar bergaya. Bentuk topeng bermacam-macam, mulai dari yang sederhana hingga yang unik. Dalam sebuah pesta topeng, benda ini menjadi keunikan tersendiri yang wajib dikenakan pesertanya.

Topeng akan dibuat sedemikian rupa sehingga menyembunyikan wajah sang pengguna. Apakah menyembunyikan identitas sedemikian pentingnya? Well, untuk pesta topeng mungkin iya, tapi bagaimana dengan kehidupan nyata? Perlukah topeng? Jelas topeng dapat menyembunyikan ekspresi wajah kita, sehingga orang lain tidak dapat menebak apa yang sedang kita rasakan. Pertanyaan pentingnya: untuk apa kita menyembunyikan ekspresi wajah?

Wajah adalah beranda diri kita, apa yang ditampilkan disana dengan sendirinya menunjukkan pribadi kita. Jika kita marah, sedih, senang atau luapan emosi lain, maka wajah kita akan menunjukkannya, lengkap dengan gerak tubuh. Orang-orang akan dengan mudah menilai apakah kita sedang berada dalam suatu fase emosi tertentu dari ekspresi yang kita tampilkan.

Kenapa gua tertarik membahas ini? Karena ekspresi wajah dapat diatur sedemikian rupa. Jika kita kesal terhadap seseorang, ekspresi yang ditampilkan bisa jujur menyatakan kekesalan, atau justru ditutup-tutupi dengan ekspresi lain, misalnya senang, sehingga inilah yang disebut mengatur ekspresi wajah. Biasanya jika kita tidak senang akan kehadiran orang tertentu namun harus bersikap sebaliknya, dengan sendirinya kita akan mengatur ekspresi wajah agar tampak "senang dengan kehadiran seseorang yang tidak diinginkan". Apakah mudah? Tidak, tapi untuk beberapa orang, mereka akan dengan mudah melakukannya karena terbiasa. 

Wow.

Gua jadi inget film "The Purge". Film thriller ini bercerita mengenai negara Amerika di masa depan, dimana kejahatan dapat ditekan hingga level rendah. Apa kuncinya? Ternyata pemerintah menyediakan satu waktu khusus dimana warganya dapat melepaskan emosi yang terpendam kepada siapapun. Saat "the purge" dilaksanakan, warga diperbolehkan melakukan tindak kejahatan, agar emosinya tersalurkan, dalam hal ini termasuk membunuh (gawat kan?). Jadi saat "the purge" adalah saat dimana kriminalitas dilegalkan, dengan catatan setelah "the purge" selesai, warga dilarang melakukan tindakan kriminalitas. Setidaknya tingkat kriminalitas berhasil ditekan ke level terendah akibat pelaksanaan program "the purge" tersebut. Inilah yang menyebabkan pemerintah terus melegalkannya.

Wow, jika benar hal itu diterapkan di kehidupan nyata, entah akan seperti apa jadinya. Pemikiran bahwa kejahatan dapat dilegalkan tentu bertentangan dengan pandangan agama. Oke, gua ngga akan membahas sampe sedalem itu. Yang mau ditekankan disini adalah kenyataan bahwa tiap-tiap diri kita menyimpan emosi tersendiri, negatif maupun positif. Emosi yang negatif lah yang paling membahayakan. Dalam film "The Purge", manusia yang merayakan hal itu berharap dengan melepaskan emosi negatif melalui tindak kejahatan dapat membersihkan jiwa mereka. Jadi pembersihan jiwa diidentikkan dengan tindak kejahatan. Mereka yang merayakan "The Purge" akan melepas dendam mereka pada pihak-pihak tertentu yang tadinya justru akrab, atau pada sembarang orang.

Inilah uniknya. Kita jadi bertanya-tanya sendiri, apakah orang-orang yang terlihat ramah sebenarnya hanya memasang topeng tertentu di wajah, padahal hatinya berkata lain? Topeng tak terlihat yang disetel sedemikian rupa sehingga orang lain tidak akan melihat perbedaan antara apa yang ditampilkan dengan apa yang tersembunyi di hati. Bukannya mau berprasangka buruk, tapi tentunya ada sebagian orang yang kerap menggunakan topeng ekspresi ini, di saat-saat tertentu. Tingkat keberhasilannya diukur dari reaksi lawan bicara, jika lawan bicara terjebak dengan topeng ekspresi yang mereka pasang, maka strateginya berhasil. Atau jangan-jangan... lawan bicaranya juga sama-sama memasang topeng ekspresi kasat mata?

Jadi... berapa banyak orang yang memasang topeng ekspresi di luar sana? Pernahkah kita melakukannya? Atau... pertanyaan sesungguhnya, seberapa sering kita melakukannya?

-Bray-

Note: Lagu "Extraordinary" milik Clean Bandit feat. Sharna Bass mengiringi penulisan kali ini.
READ MORE - Ekspresi Wajah: Haruskah Diatur?
 
Powered by Blogger.