Momen mudik telah usai, seiring dengan usainya bulan Ramadhan. Mudik itu sendiri ditandai dengan luapan manusia perantauan yang kembali ke kampung halaman masing-masing, entah itu di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Menyisakan kota-kota besar yang kosong dan menyemarakkan kota-kota di kampung halaman.
Gua sendiri termasuk pihak yang mengalami momen mudik tahun ini, jadi bisa merasakan bagaimana hebatnya perjuangan para perantau memadati jalan demi menemui keluarga di kampung halaman. Mereka rela terjebak macet berjam-jam di jalan, beristirahat di jalan, makan dan minum di jalan, juga beribadah di jalan. Semua itu terbayar saat berhasil menginjakkan kaki di kampung halaman, bertemu orang tua, dan bernostalgia dengan kenangan masa kecil.
Well, gua murni lahir dan dibesarkan di Jakarta, jadi pulang ke kampung halaman orang tua lebih ke menikmati pemandangan desa yang indah, bersilaturahmi dengan sanak saudara, juga mengingat momen terakhir menginjakkan kaki disana.
Bagi para perantau, kembali ke kampung halaman berarti juga menunjukkan hasil kesuksesan. Membawa serta keluarga, membawa bekal ini itu untuk orang tua, membawa cerita kesuksesan dari kota besar, dan sederet "harta" lain. Terlepas dari keinginan murni untuk bersilaturahmi, pasti ada sepercik keinginan untuk menunjukkan kepada orang di kampung halaman, khususnya orang tua, bahwa kita sebagai perantau, telah sukses menjalani kehidupan. Sukses menjadi "orang". Sudah tabiat manusia untuk gemar memamerkan apa yang ada dalam dirinya. Bukan berarti gua men-judge semua orang bertindak demikian, karena keinginan bersilaturahmi dengan keluarga tetap yang paling utama.
Saat pulang kembali ke kota besar, terutama Jakarta, para perantau kembali berjuang mengais rezeki demi bekal untuk pulang kampung tahun depan. Siklusnya terus berulang tiap tahun, dan akan berhenti saat ajal menjemput. Nah lho, kalau sudah begini, mau bagaimana? Data kepolisian (dilansir dari laman Republika Online) menyatakan bahwa jumlah korban meninggal selama Operasi Ketupat hingga H+5 lebaran 2015 mencapai 575 orang. Bukan jumlah yang sedikit. Ini menunjukkan bahwa nyawa menjadi taruhan dalam proses mudik. Dalam dunia hewan, ini sama saja dengan "Great Migration", dan tidak sedikit hewan yang mati dalam proses migrasi besar-besaran tersebut.
Jika sudah demikian, bekal yang dipersiapkan jauh-jauh hari untuk dibawa ke kampung halaman menjadi sia-sia, karena kita keburu "dijemput" untuk antri menunggu masuk ke "kampung halaman" lain, yakni akhirat. Mungkin sebagian dari kita lupa bahwa masih ada kehidupan yang lebih kekal dari kehidupan di dunia ini, yakni di akhirat. Kalau banyak orang yang mempersiapkan bekal untuk mudik ke kampung halaman, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk kampung akhirat nanti?
Gua juga termasuk manusia yang masih berlumuran dosa, tapi mari bersama-sama renungkan kembali, dan berbenah. Mumpung masih diberi kesempatan hidup di dunia ini oleh Allah, sebaiknya pergunakan dengan baik.
-Bray-
Note: catatan kecil ini ditulis menjelang maghrib dan ditemani dengan iringan musik Adele yang "Hometown Glory".
Betul bro, kadang kita suka tidak pernah memikirkan bekal akhirat.
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com
Nah itu dia masalahnya. Kaum urban saat ini udah terjebak manisnya dunia. Haha, gua pun juga kadang terjebak, tapi semoga kita bisa berbenah. :-)
Deletebekal akherat adalah bekal yang paling terlupakan untuk dibawa
ReplyDeleteHehe, semoga sekarang mindset kita diubah untuk lebih mikirin bekal ke akhirat ya... :-)
DeleteAmin... wah doanya bagus untuk kita semua nih. Ngga akan ada yang tahu sampe kapan kita hidup di dunia ini, so... we must prepare for the worst scenario.
ReplyDeleteInsya allah sama2 masih dikasih kesempatan untuk berbenah. Thanks ya :-)